Senin, 22 Oktober 2012

Malem Minggu Bersama Sulis


Tanggal 28 Juli, hari Sabtu, ba’da Tarawih, di Masjid An-Nuur, Pare, Kediri.


       Adzan Isya berkumandang membahana di daerah Pare, Kediri. Panggilan sang Pencipta untuk menghadap pada-Nya telah terdengar jelas di daun telinga setiap insan. Aku teringat sesuatu, kemarin lusa aku membaca subuah brosur. Disitu terpapar informasi bahwa pada tanggal 28 juli, hari Sabtu ba’da Tarawih ada “Kirap Bedug”, acara tour Ramadan dari suatu produk makanan (Wingsfood) yang merupakan bagian dari acara promosi dan iklan. Acara tersebut akan dihadiri oleh Sulis, sang pelantun lagu religi “Ummi” bertempat di halaman Masjid Agung An-Nuur, Pare, Kediri. Segeralah aku bergegas mengajak teman-temanku untuk bergabung bersamaku pergi ke Masjid terbesar di Kabupaten Kediri tersebut. Sayangnya, teman-temanku di camp yang aku ajak tidak ada yang mau ikut. Katanya males, cukup jauh jaraknya. Aih… apa dikata ! Padahal mah cuma sekitar sepuluh menit pakai sepeda ontel. Males mah bilang aja males. Ya sudahlah aku pergi saja sendiri.
        Ku ambil sepeda Pixy yang telah aku sewa sekitar dua minggu lalu untuk sebulan lamanya. Tanpa pikir pajang aku langsung bergegas ambil peci dan langsung ku ayuh sepeda membelah Jalanan dengan kecepatan sedang. Aku berangkat dari ‘Saigon Camp’, nama camp tempat kursusku. Dari Jalan Dahlia lurus ke selatan, kemudian sampai di Jalan Brawijaya belok ke timur lurus terus dan kemudian belok ke utara masuk ke Jalan Anggrek lurus terus sampai perempatan lampu lalulintas. Dari situ sudah terlihat bangunan besar nan megah Masjid Agung An-Nuur. Aku melanjutkan perjalananku menuju Masjid. Aku shalat Tarawih di sana. Setelah shalat Tarawih aku keluar dari Masjid dan berjumpa dengan Farhan, teman baru dari UIN Jakarta yang ikut kursus di lembaga kursus bahasa Arab. Aku dan Farhan bersama-sama berkeliling Masjid memecah keramaian orang yang berlalu-lalang. Halaman Masjid yang sangat luas itu mulai penuh dipadati orang-orang yang ingin menyaksikan acara puncak kirap bedug Wisngsfood dengan Sulis sebagai bintang tamunya. Aku dan Farhan menyempatkan diri untuk berjalan mengelilingi stan-stan yang ada di sana. Disana ada banyak stan yang menjual produk-produk Wingsfood (maaf dari tadi nyebutin merk, tapi ini bukan iklan ya)  seperti kecap, saos, kopi instan, mi instan, minuman rasa, dan lain sebagainya. Farhan menraktirku kopi hitam.
       Malam ke delapan (ikut pemerintah) bulan suci Ramadhan itu nampak kemilau cahaya lampu-lampu menyinari sudut-sudut halaman masjid yang sangat luas. Panggung tanggung berdiri kokoh di bagian tertinggi dari halaman Masjid. Tepi kolam yang terhampar luas di tengah halaman Masjid itu penuh dengan orang. Mulai dari anak-anak sampai yang tua ada semua. Ada anak-anak yang saling kejar-kejaran satu sama lain dan membawa makanan ringan. Ada banyak orang yang berdatangan dengan keluarga, dengan teman-teman sebaya, dengan teman-teman baru di lembaga kursus tempat mereka belajar, dengan lawan jenis (aku tidak tahu muhrim atau bukan), dan ada juga banyak dari mereka adalah gadis-gadis dan para jejaka yang lalu-lalang tebar pesona. Maklum saja kalau banyak dari mereka adalah para gadis dan jejaka, karena saat ini adalah musim liburan untuk mahasiswa-mahasiswi perguruan tinggi di Indonesia. Jadi, banyak dari pendatang yang hampir memenuhi English Village di Pare saat ini adalah para mahasiswa dan para mahasiswi yang datang dari seluruh penjuru negeri, dari Sabang sampai Merauke untuk kursus bahasa Inggris dan lain sebagainya.
        Malam puncak acara kirap bedug itu dimulai dari usai shalat Tarawih dan berakhir sekitar jam sepuluh lebih dua puluh menit. Acara berlangsung cukup tertib, meskipun diantara para pemuda yang bediri di bagian paling depan dari panggung saling berebut bersalaman dengan Sulis dan mereka susah dibilangin. Bahkan sempat Sulis bilang ke mereka: “salamannya nanti aja yaa kalau udah selesai.” (sambil melempar-lempar senyum legitnya yang nggak nahan itu lhoo ^^). Maklum saja, sejak pertama dia mulai naik panggung para pemuda itu sudah berjejal berebut salaman dengannya. Ia menyalami para pemuda yang sedari awal sudah melambai-lambaikan tangan menengadah mengemis salaman dengan Sulis. Bahkan, beberapa balita yang terlihat masih sangat polos sengaja dinaikkan orang tua mereka ke panggung saat Sulis sedang bersenandung hanya untuk melihat putra-putri mereka bisa bersalaman dengan Sulis (wah, ada-ada aja ni papa-mamanya, hehe). Mungkin Sulis merasa capek kalau harus bersalaman dari awal hingga akhir acara, karena ia adalah satu-satunya bintang tamu dan harus membawakan lagu-lagu dari awal hingga akhir sendirian. Akan tetapi sekali lagi, aku pikir acara tersebut tergolong tertib.
        Mereka para penonton larut dalam lantunan lagu-lagu religi yang dibawakan Sulis. Lagu-lagunya yang dari kecil sampai sekarang aku pun masih suka itu begitu nikmat didengarkan. Kalau aku tidak salah, ia membawakan delapan lagu yang terdiri dari lagu-lagu hits dan lagu-lagu terbarunya. Ia menyanyikan dengan sangat indah. Suaranya mendayu-dayu mengalunkan lagu-lagu yang menyentuh kalbu. Aku dan para penonton lainnya dibawa hanyut kedalam atmosfer religiusme yang mendalam. Saat lagu berjudul “Ummi” dialunkan dengan penuh hitmat dan syahdu, saat itulah saat dimana jiwa setiap penonton mulai tergelitik mengingat sosok seorang ibu. Ibu adalah seorang yang sangat berjasa dalam hidup ini. Saat kita jauh berada di luar kampung halaman, ibu adalah sosok yang senantiasa bangun di sepertiga malamnya untuk bermunajat kepada Sang Pelindung mendoakan kita semua agar Sang Pelindung selalu melindungi kita. Lagu terebut mampu menggugah hati para penonton yang sedari tadi ikut tenggelam dibawa hanyut oleh Sulis kedalam ingatan tentang sosok seorang ibu. Aku dan para penonton melambai-lambaikan tangan ke kanan dan ke kiri mengikuti alunan syahdu lagu itu dan ikut menyanyi bersama Sulis dengan hati yang haru bercampur sendu mengingat kelakuan terhadap ibu. Sampai saat ini masih senang menyusahkan ibu, sering membuat ibu resah. Ibu, maafkan anakmu, rasa-rasanya tidak akan mungkin bisa membalas semua jasa-jasamu. Semoga Allah S.w.t. selalu memberkahimu….  Amin.. :(  :)  (ibu, aku kangen...  maafin aku )
        Uh, emmmang yah… “siswanto”, e salah ding ! “sesuatu…” hehe.. Alhamdulillah ya, ini pengalaman yang cukup berkesan bagiku di ‘Kampung Kursus’ atau ‘Kampung Inggris’ ini. (lebay..) biarinlah, nggak apa-apa daripada nggak punya pengalaman, hayoo mau ngomong apa ?!  Acara selesai sampai disini. Sebenernya aku ingin sekali photo-photo bareng Sulis, tapi karena yang antre buanyak banget ya aku langsung balik aja ke camp. Selain itu juga emang kamera digitalku tertinggal di camp dan ponselku low batteray (hehe.. dodol ! ). Mau tau kisahku di English Village selanjutnya?? (hehe.. sok selebritis) nantikan kisahku selanjutnya disini! Jangan kemana-mana, tetap di…. Ipung Tok Tok’s Note… ! haha..   bye bye…. (sambil nglambaiin tangan)  J J J

Kamis, 11 Oktober 2012

Tamasya Kelas di Curug Cibeureum


Oleh: Ahmad Syaiful Huda, 20 januari 2012, Tangerang Selatan.



Setelah ujian akhir semester tiga kemarin, saya bersama teman-teman sekelas saya di Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Jakarta mengadakan tamasya ke curug (air terjun) Cibeureum yang terletak di dalam  kawasan Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) Cibodas, tepatnya di desa Sindang Laya, kecamatan Pacet, kabupaten Cianjur, Profinsi Jawa Barat.
Kami menyewa sebuah bus tanggung ber AC untuk kami tumpangi sampai di sana. Dalam satu kelas, tidak semuanya teman kami bisa ikut  acara tamasya kelas itu. Ada beberapa teman yang tidak bisa ikut karena mereka ada halangan. Ada juga yang tidak bisa ikut karena  ingin langsung pulang kampung menikmati liburan semester bersama keluarga dan ada pula beberapa teman yang enggan ikut setelah mempertimbangkan ongkos perjalanan yang menurutnya terlalu mahal.
Dalam satu bus tanggung berwarna biru itu kami berjumlah Sembilan belas orang ditambah seorang supir dan seorang kernet, jadi masih ada beberapa kursi yang kosong. Meskipun acara tamasya kelas kali ini tidak semua teman bisa ikut, tapi kami bertekat untuk membuat acara itu tetap berkesan, dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan tentunya akan lebih bisa mengharmoniskan hubungan diantara kami.
Kami berangkat dari halte baru UIN Jakarta pukul 07.35. Awalnya kami sempat merasa khawatir dan gundah gulana ketika kami menunggu bus yang telat datang menjemput kami. Bus yang telah kami pesan untuk menghampiri kami pukul 07.00 di depan halte itu telat sekitar 25 menit. Pantas saja kami merasa khawatir dan gundah gulana karena selama masa penantian itu kami telah berulang kali menghubungi nomor hp supir bus itu namun tak juga ada jawaban. Saya perhatikan teman-teman yang gelisah menghubungi nomer hp itu namun berkali-kali tak juga diangkat.
Sempatlah saya beberpa kali menelepon dengan ponsel saya namun hasilnya sama, tidak ada yang mengangkat. Salah seorang teman kami yang merasa bertanggung jawab atas bagian akomodasi merasa bersalah atas peristiwa itu. Sudah semestinya bus yang dipesannya datang tepat pada waktunya. “Aduuuh, ko busnya nggak dateng-dateng siii ! Pakai  nggak diangkat segala lagi ni ditelfon ! Aduh temen-temen maafin Sita yaa.. Sita jadi ngerasa nggak enak ni sama kalian semua udah pada nungguin. “ Terbaca raut wajahnya yang  penuh cemas menanti bus pesanannya datang. Setelah beberapa lama kami menunggu akhirnya bus datang juga. Kami merasa lega dan langsung saja semua memasuki bus satu demi satu.
Bus siap melaju. Oleh ketua kelas, kami diabsen terlebih dahulu sebelum berangkat. Masih ada dua orang perempuan yang belum memasuki bus. Mereka masih di perjalanan menjuju halte. Kami menunggu dua orang teman kami yang belum datang itu. Beberapa jenak kemudian mereka datang dan bergabung bersama kami di dalam bus. Ketua kelas memimpin doa sebelum berangkat. Perjalanan dimulai.
 Setelah sekitar tiga jam perjalanan tanpa ada macet kami pun sampai di Cibodas. Bus memasuki pintu masuk kawasan wisata Kebun Raya Cibodas. Kami semua turun dari bus setelah bus terpakir di tempat parkir. Pintu masuk menuju ke Curug Cibeureum terletak di sebelah utara sekitar 500 m dari pintu masuk utama Kebun Raya Cibodas. Pintu masuk ini juga merupakan jalan masuk menuju pendakian Gunung Gede – Pangrango. Curug Cibeureum berjarak sekitar 2,6 km atau satu jam dengan berjalan kaki dari gerbang masuk taman nasional.
Rombongan kami berjalan mengikuti Rijal, salah satu teman kami yang telah berpengalaman beberapa kali datang ke Curug Cibeureum di Cibodas itu. Ia berada di depan memandu perjalanan kami. Saat itu sempat kami dibuat bingung oleh salah seorang ibu-ibu yang berjualan tikar kecil yang mengarahkan kami untuk mengikuti jalan yang ia tunjukkan. Tanpa kami meminta, ibu itu bersedia mengantarkan kami menuju Curug Cibeureum. Baik sekali ibu itu. Baru beberapa langkah  kaki mengiktuinya, kami dipanggil-panggil Rijal. Ia yang tadinya berjalan cepat di depan kami nampaknya mulai sadar bahwa kami tak lagi mengikutinya. Ia kembali menyusul kami yang telah berbelok arah dan  baru beberapa langkah mengikuti langkah kaki ibu-ibu tadi.
Rijal memberitahu kami bahwa ibu-ibu penjual tikar itu bersedia menunjukkan kami jalan menuju curug karena profesinya selain berjualan tikar ia juga berprofesi sebagai guide. Nantinya kami  akan dimintai biaya atas jasa yang telah ia berikan. Kami baru menyadarinya. Kami juga merasa bersalah kepada si Rijal. Harusnya kami lebih percaya kepada teman kami sendiri. Kami berhenti mengikuti ibu penjual tikar tadi. Kami berbalik arah mengikuti langkah kaki Rijal.
Sepanjang perjalanan menuju curug itu kami menemui beberapa tempat yang menarik, juga beberapa tempat peristirahatan yang sengaja dibangun oleh pengelola. Selang setengah jam kami berjalan dari pintu masuk kami menemui pos pertama. Di pos pertama ini terdapat pusat informasi, tempat istiraht dan toilet.
Selanjtunya kami melanjutkan perjalanan menuju pos yang kedua. Rombongan mulai terpisah. Sebagian berada terdepan dan sebagian berada terbelakang. Saya dan empat orang lainnya termasuk dalam kelompok yang tertinggal di belakang. Empat teman saya yaitu: Agung, Dharma, Sita dan Diny. Saya dan Agung mendapat bagian membawa bekal lauk-pauk sampai curug, sementara nasinya  dibawa oleh kelompok terdepan. Sampailah kami di pos kedua yang terletak di dekat telaga biru atau juga disebut dengan Telaga Magis. Di sana kami berlima beristirahat sejenak. Kami tidak mau  duduk-duduk di pos itu karena kami pikir tempatnya agak serem dan kebersihannya kurang terjaga.
Sitta, Dharma dan Diny menceburkan kaki mereka kedalam aliran sungai kecil yang dangkal dan berada di sebelah kiri jalan. Mereka mencuci tangan dan membasuh wajah mereka dengan air yang terasa sangat dingin seperti air es  itu. Saya dan Agung enggan untuk mengikuti apa yang mereka lakukan. Kami berdua memakai sepatu sedangkan mereka memakai sandal. Saya dan Agung akan kerepotan kalau harus lepas-pakai sepatu. Sita memberikan kamera digitalnya kepada Agung. Ia meminta tolong untuk difoto. Diny juga ikut-ikutan memberikan ponsel kameranya kepada saya. “Ipung, Diny juga minta difotoin yah.” Ujarnya. Darma, Sitta dan Diny berdiri berfose di bawah papan informasi Telaga Biru.
Usai berfoto-foto, Sita memberi saya dan Agung snack keripik kentang. Kami masih di Telaga Magis untuk beristirahat sejenak. Saya membaca papan informasi Telaga Magis yang ada di sana. Selain disebut sebagai Telaga Magis, telaga itu juga disebut sebagai Telaga Biru.Telaga (dengan luas sekitar 0,25 ha) ini mempunyai air yang berwarna biru kehijau-hijauan karena di dalam telaga ini terdapat ganggang hidup sehingga membuatnya berwarna biru.
Kami melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan sekitar 2 km, kini perjalanan kami melewati jembatan yang terbuat dari susunan potongan kayu yang rapi diatas rawa Gayonggong. Gayonggong sendiri merupakan jenis rumput. Kami merasa aman melewati jembatan itu meskipun ada beberapa kayu yang sudah bolong karena rapuh. Lintasan jembatan kayu ini lumayan panjang jika sekedar untuk disebut sebagai jembatan, sampai sedikit berkelok-kelok juga. Di jembatan kayu ini ada tempat istirahat untuk sekedar melepas lelah atau mengabadikan pemandangan.
Jalur jembatan kayu kembali berganti dengan lintasan bebatuan, dan tidak lama kemudian kami sampai di pos yang ketiga yang terletak di sebelah persimpangan (pertigaan) dan dinamakan Panyancangan Kuda. Di sana ada papan penunjuk arah, dengan arah kiri menunjuk lokasi air panas, Kandang Badak dan Puncak Gede, sedangkan arah kanan ke Curug Cibeureum dan Puncak Pangrango. Kami menuju ke arah kanan. Jalan yang kami lalui agak menurun sedikit dan datar. Waktu tempuh menuju curug sekitar lima belas menit lagi dari persimpangan tersebut. Berulang kali kami harus menghentikan perjalanan untuk istirahat sebentar demi memenuhi permintaan Diny dan Sitta yang hampir tidak kuat lagi meneruskan perjalanan.
Saya  dan Agung membawa lauk-pauk yang terdiri dari tiga kotak berukuran lumayan besar, maka dari itu kami membawanya berdua agar terasa ringan. Kami berlima adalah kelompok terbelakang dari satu rombongan kelas yang tiba di Curug Cibeureum terakhir. Di sana sudah ada berberapa teman yang sedang bermain-main air. Sebagian yang lain sudah ada yang pakaiannya basah kuyup dan menggigil kedinginan di pojok saung. “lho Ipung, kok kalian baru pada nyampe di atas si? Ngapain aja tadi di bawah? Wajah kalian pada pucet dah?“ tanya Tsalis. Ia menggigil kedinginan di pojok saung. Saya hanya melemparinya dengan senyum paksa tanpa saya jawab pertanyaannya. “gimana nggak pucet ? orang lagi capek bawa lauk-pauk segitu banyaknya dari bawah ampe atas nggak ada yang gantiin coba ! “ gerutu saya dalam hati.
Sesampainya di curug, saya ditawari sebatang rokok oleh salah satu teman saya. Saya menerimanya. Saya meletakkan  barang-barang di saung yang ada di depan curug. Saya mencuci muka dengan air curug yang dinginnya bukan main. Setelah itu baru saya merokok. Udara dingin pegunungan menyelimuti tubuh saya dan teman-teman. Bilur-bilur air embun dari hempasan aliran air terjun yang mengalir deras dari tebing batu setinggi antara 40-50 meter itu menyembur kemana-mana karena terbawa angin. Dengan keadaan yang sangat dingin seperti itulah yang mendorong saya untuk menerima tawaran sebatang rokok dari teman saya. Beberapa teman perempuan yang melihat saya sedang merokok agak kaget. Mereka mengingatkan saya agar tidak merokok. Mereka mengatakan bahwa saya tidak “cocok” merokok.
Memasuki waktu shalat Dzuhur, kami segera mengambil air wudlu di aliran air terjun. Kami mencari tempat untuk bersujud. Kami berjalan menuju bebatuan besar yang ada di sebelah kanan Curug Cibeureum. Kami memilih bebatuan besar kering yang tentunya tidak licin untuk dipijak. Kami memutuskan untuk shalat di atas bebatuan besar yang ada di sana. Sungguh eksotis nian, kami bersujud kepada sang Khalik di atas bebatuan besar – di bawah curug yang menjulang tinggi hasil ciptaan-Nya itu. Kami merasa benar-benar menyatu dengan alam semesta. Berpeluk-pelukan dengan alam pegunungan yang berudarakan dingin menusuk-nusuk tulang. Kami semua menghayati betapa maha agungnya Tuhan kami yang telah menciptakan alam semesta yang agung ini dengan segala keindahannya. Semua teman-teman mentadaburi alam hasil ciptaan sang Khaliq. Dialah sang pencipta jagat raya. Tidak satu pun dapat menandingi-Nya. Dialah Allah, Tuhan yang maha sempurna dengan segala sifat-Nya.
Seusai shalat, kami berkumpul untuk duduk membentuk lingkaran. Kami membuka perbekalan-perbekalan yang telah kami siapkan untuk makan siang satu rombongan. Ada nasi, tempe, telor ayam dan sayur toge. Setelah berdoa bersama, kami menyantap makan siang itu dengan lahapnya. Sungguh itu adalah kebersamaan yang menghangatkan suasana. Sebuah kebersamaan yang tidak akan pernah kami peroleh di dalam kelas, atau bahkan juga di kampus.
Makan siang selesai. Shalat juga sudah kami laksanakan. Kini saatnya bermain-main air di Curug Cibeureum. Teman-teman yang tadi sudah bermain-main air sampai basah kuyup tidak berani lagi ikut-ikutan basah-basahan. Mereka telah menggigil kedinginan. Sekarang giliran teman-teman yang tadi belum sempat bermain-main air untuk bermain-main air dan berbasah-basahan di curug. Setelah dirasa cukup bermain-main airnya kami pun berfoto-foto terlebih dahulu. Kami berfoto bersama diatas gundukan batu besar yang ada di hadapan Curug  Cibeureum. Di curug itu pemandangannya sangat indah. Cocok untuk dijadikan background jika ingin berfoto-foto.
Curug cibeureum sendiri terdiri dari air terjun utama Curug Cibeureum, dan dua air tejun lain yang lebih kecil, Curug Cidendeng dan Curug Cikundul. Curug Cibeureum adalah air terjun terbesar dan paling pendek di kawasan ini, letaknya yang lebih terbuka dan dekat dengan perlindungan dan naungan sehingga orang-orang lebih banyak mengerumuninya. Nama Cibeureum berasal dari bahasa Sunda yang berarti sungai merah. Nama ini diambil dari nuansa merah dinding tebing yang terbentuk dari lumut merah yang tumbuh secara endemik disana.
Di sebelah kanan curug cibeureum tempat kami berfoto-foto adalah Curug Cidendeng, ukurannya lebih lebih tinggi dan langsing. Airnya melintasi tebing batu-batu trap dan jatuh menimpa lereng tebing yang berlumut. di curug cidendeng ini pula saya sempat dua kali jatuh terpeleset karena bebatuan yang ada di bawahnya sangat licin bukan main. Saat itu saya terjatuh hingga gelang jam tangan yang saya pakai terputus. Saya memutuskan untuk meninggalkan Curug Cidendeng karena berbahaya bagi keselamatasn saya. Saya kembali lagi ke Curug Cibeureum di sebelah kiri sana yang jauh lebih aman dan indah. Sedangkan curug yang paling kanan adalah Curug Cikundul. Letaknya  sangat tinggi dan agak tersembunyi di lubang / lekukan dua tebing.
Ketika kami sedang berfoto-foto kami melihat ada dua orang bule baru saja tiba di curug. Mereka memandang-mandangi air terjun yang ada di belakang kami. Mereka semakin mendekat dengan kami. Kebetulan saat itu kami sedang foto bareng, jadi kami ajak mereka untuk ikut foto bersama kami. Lumayan untuk kenang-kenangan foto bersama dengan bule, pikir kami.
Sebelumnya kami masih belum tau darimanakah asal kedua bule tersebut. Yang satu wajahnya agak ketimur-timuran dan yang satu lagi wajahnya agak kebarat-baratan. Kami tidak banyak bicara dengan mereka. Setelah kami perhatikan, ternyata mereka ngobrol dengan menggunakan bahasa arab. Kami pun segera menghampiri mereka. Kami berkenalan dengan mereka lebih jauh. Yang satu namanya fawaz, dia mengatakan bahwa dia sudah punya dua orang anak. Yang satunya lagi namanya Mubarak. Dia masih perjaka, masih lajang. Mereka berdua berasal dari Arab Saudi.
Mereka berdua datang ke Indonesia sejak sepuluh hari yang lalu dengan tujuan untuk siyahah / tamasya. Fawaz merasa terpesona dengan alam Indonesia. Dia bilang bahwasannya di arab Saudi tidak ada gunung-gunung seperti itu. Ada gunung, tapi tidak berpohon lebat seperti itu. Disana banyak gurun dan padang pasir. Mereka mengatakan bahwa tempat tinggal mereka di Arab Saudi sana dekat dengan kota Makkah. Dari rumahnya perjalanan menuju makkah bisa ditempuh dengan mobil hanya dengan dua jam perjalanan.
Mereka datang ke Cibodas dari Jakarta. Ketika kami tanya bagaimana suhu udara di Curug Cibereum mereka mengatakan bahwa disini dingin, akan tetapi lebih dingin ketika musim dingin di Arab Saudi. Katanya bisa sampai dibawah 5 derajat Celcius. Sama-sama dingin, tapi tetap masih lebih dingin di Arab Saudi ketika musim dingin. Bedanya adalah kalau di curug itu dinginnya dingin basah, tetapi kalau di Arab Saudi dinginnya dingin kering. Sedangkan di sana jika musim panas maka cuaca akan sangat panas sekali, karena suhu bisa mencapai  45 derajat Celsius. Selesai ngobrol-ngobrol kami pun berpisah. Mereka turun dari curug lebih dahulu. Mereka mengatakan hendak mencari sarapan siang di bawah sana. Senggang beberapa jenak dua orang Arab itu turun, kami pun ikut turun. Kami juga hendak melanjutkan perjalanan wisata.
Lagi-lagi pada saat menuruni curug kembali berjalan sepanjang 2,6 km rombongan kami terpecah menjadi dua. Dan lagi-lagi kami berada di kelompok yang tertinggal jauh di belakang. Saya bersama Tsany, Eva, Dharma, Sitta, Diny dan Haikal. Kami terus berjalan. Eva dan Tsany mempercepat langkah kaki meninggalkan kami. Mereka sudah tak terlihat lagi.
Saat sedang berada di perjalanan antara pos kedua dan pos ketiga dalam menuruni curug, saya, Haikal, Diny, Sitta dan Dharma menjumpai tiga ekor primata, namun kami tidak tahu persis jenis apakah primata itu. Kami menyebut satwa itu dengan sebutan monyet. Seekor monyet diantara mereka hendak menghampiri kami sehingga kami mempercepat langkah kaki. Kami takut akan disereang monyet itu karena kami tahu itu adalah monyet liar yang siap menyerang kami kapan saja. Tatapannya buas dan siap menerjang musuh yang berani mengganggunya. Barangkali mereka kira kami telah mengganggu mereka. Di sisi lain, kami merasa bahwa kami adalah orang-orang yang paling beruntung diantara teman-teman. Ternyata ada hikmahnya juga ya kami tertinggal di belakang dari rombongan yang ada. Ternyata hanya kami yang kebetulan dapat melihat langsung tiga ekor primata kawasan taman nasional langsung dari habitat aslinya.
Saya memutuskan untuk mempercepat langkah kaki. Saya semakin meninggalkan teman-teman yang masih berada di belakang saya. Akhirnya saya bisa menyusul kawan-kawan yang telah berada cukup jauh  di depan sana. Tak disangka ternyata rombongan teman-teman yang saya jumpai di depan telah bersama dua orang bule tadi. Sepertinya mereka telah terlihat akrab. Tidak disangka ketemu mereka lagi. Dua orang bule itu ternyata ikut berbaur dengan kami di sepanjang perjalanan menuruni gunung dan membelah hutan. Kali ini lebih akrab. Ada Rijal yang berbincang-bincang dengan Fawaz dan ada Nana juga yang asyik berbincang-bincang dengan Mubarak.
Kendati nana dan Rijal kurang tahu arti kata perkata yang keluar dari mulut kedua orang arab itu, namun nampaknya si Nana dan si Rijal bisa memahami apa yang mereka katakan. Demikian juga dengan kedua orang arab tersebut, kendati terlihat agak bingung dengan Bahasa Arab Rosmiyah (resmi, formal) yang kami gunakan, namun demikian mereka tetap bisa memahami maksud kata-kata kami. Maklum saja, mereka adalah orang arab yang kesehariannya berbicara satu sama lain dengan menggunakan Bahasa Arab Ammiyah (umum, pasaran). Dan cukup aneh memang, mereka kurang bisa menggunakan Bahasa Arab Rosmiyah mereka sendiri. Orang  Arab tapi tidak bisa berbahasa Arab (yang formal). Kami rasa mereka merasa senang.  Di Indonesia, Negara yang jauh dari Arab Saudi, mereka bisa bertemu dengan orang-orang yang bisa berbicara dengan bahasa Arab mereka.
Saya ikutan menyelinap pada rombongan teman-teman yang telah bersama dengan dua orang Arab itu. Saya harus aktif mengajak bicara dua orang Arab tersebut layaknya yang dilakukan teman-teman. Saya juga ingin melatih atau lebih bisa disebut menjajal kemampuan berbahasa  Arab saya. Ini adalah kesempatan yang langka. Meskipun di kelas kami ada satu dosen yang didatangkan langsung dari universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, untuk mengajar kami, namun dosen tersebut berbicara dengan bahasa formal atau bahasa rosmiyah. Nah, untuk kesempatan kali ini, dari sini saya bisa mengetahui  langsung bagaimana orang arab umum itu berbicara dengan menggunakan bahasa Ammiyah. Saya menghampiri si Mubarak. Saya cukup tertarik dengan tingkahnya. Tingkah lakunya mencerminkan jiwanya yang masih muda perjaka. Ia terlihat seperti remaja pada umumnya. Ia lincah. Ia periang, dan ia mudah bergaul dengan remaja lain seperti kami. 
Saya mengajak Mubarak mengobrol sepanjang perjalanan menuruni gunung dan membelah hutan. Mubarak dan Fawaz hendak turun untuk sarapan siang. Di atas tidak ada seorang pun yang menjual makanan.  Saya bertanya seputar makanan apa yang paling ia sukai selama di Indonesia. Ia menjawab bahwa selama di Indonesia ia belum melakukan wisata kuliner. Ia belum tau banyak masakan-masakan khas Indonesia. Ia minta direkomendasikan masakan khas Indonesia yang bisa ia nikmati. Saya merekomendasikan Mubarak untuk  mencoba nasi goreng, karena saya pikir di bawah sana nasi goreng akan mudah dijumapai di warung-warung atau restoran-restoran sederhana.
Saya mengajarinya mengucapkan kata nasi goreng, namun agaknya ia kesulitan untuk menirukan dan mengingatnya. Akhirnya ia meminta kertas dan pena untuk menulis kalimat nasi goreng. Saya memang membawa pena, tetapi untuk kertasnya saya tidak membawa. Mubarak kepalanya celingak-celinguk mengarah kepada teman-teman perempuan yang sedari tadi mengikuti kami (saya dan Mubarak) di belakang.  Mereka sedari tadi mendengarkan percakapan kami. Kendati mereka hanya berbicara bila ditanyai orang arab itu, namun mereka memahami apa yang kami bicarakan. Mubarak  meminta kertas dan meminjam pena untuk menuliskan kata “nasi goring” kepada teman-teman perempuan. Mereka juga tidak satupun yang membawa kertas dan pena.
Saya baru sadar, kenapa tidak ditulis di ponsel saja ya? Ahirnya saya meminta ponselnya Mubarak. Mubarak memanggil Fawaz yang ada di depannya dan sedang mengobrol juga dengan Rijal. Ia meminta ponselnya yang sedang dititipkan kepada Fawaz. Ia mengambil ponsel dari Fawaz dan menyerahkan kepada saya. Saya tuliskan kata nasi goreng di ponsel tersebut. Saya agak kesulitan menuliskan kata nasi goreng di ponsel itu. Keypadnya menggunakan huruf arab sedangkan saya menulis sembari berjalan menuruni bukit. Saya tidak mau tertinggal dari kawan-kawan.
Setelah selesai saya tuliskan kata nasi goreng, ponsel tersebut saya kembalikan kepada Mubarak. Ia membaca tulisan yang saya ketik di ponsel. Ia berusaha mengucapkan lagi dan lagi, akhirnya ia sudah bisa fasih mengucapkan kata nasi goreng. Ia penasaran dengan nasi goreng. “terbuat dari apakah nasi goreng itu? apakah di dalamnya ada ayamnya juga ?” tanya Mubarak penuh penasaran (menggunakan Bahasa Arab Ammiyah). Saya belum sempat menjawab tiba-tiba si Nana mendekat. Ia menyahuti Mubarak: “nasi goreng itu salah satu makanan khas Indonesia yang terbuat dari nasi yang digoreng dengan racikan bumbu khas. Biasanya memasaknya itu dikasih telor atau daging ayam.”
  Sepanjang perjalanan Saya dan teman-teman saling bergantian ngobrol dengan kedua orang arab itu. Langkah demi langkah dan setapak demi setapak kaki kami menuruni gunung dan menembus belantara, akhirnya kami sampai juga di bawah. Di pos masuk kawasan taman nasional itu kami berpisah dengan kedua orang arab. Kami saling bersalaman. Saya dan teman-teman menunggu beberapa teman yang masih tertinggal di belakang. Kedua orang arab melanjutkan perjalanan. Mereka mengucapkan terimakasih. Kami juga mengucapkan terimakasih. “ma’assalaamah, ilal liqoo’ ya ikhwan..” ujar fawaz dan Mubarak kepada kami.
Kini saatnya untuk kami melanjutkan perjalanan. Hujan mulai mengguyur kami. Kami berteduh di pos pintu masuk kawasan Taman Nasional. Semua teman telah berkumpul di sana. Kami sempat kawatir hujan akan lama turun karena jika demikian maka kami tidak bisa melanjutkan perjalanan wisata kami. Setelah menunggu seperempat jam Alhamdulillah ternyata hujan mulai reda, meskipun rintik gerimis masih menyelimuti perjalani kami, namun kami masih  bisa melanjutkan perjalanan. Kami masih harus berjalan untuk sampai di tempat parkir bus.
Sampailah semua di tempat parkir bus. Kawan-kawan semua telah berkumpul di sana. Para pedagang cendera mata menawar-nawarkan dagangannya kepada kami. Ada beberapa teman yang membeli gantungan kunci, ada yang membeli gelang dan ada yang hanya membeli makanan ringan hanya sekedar untuk camilan selama dalam perjalanan selanjutnya.
Saat kami sedang di dalam bus dan bersiap-siap melanjutkan perjalanan, Bung Ulin Nuha, ketua kelas kami, ponselnya berdenting-denting. Setelah diangkat ternyata itu adalah telfon dari Iqbal dan Azzam, dua kawan kami yang berhenti kuliah di jurusan kami. Mereka keluar dari jurusan kami sekitar sebulan yang lalu untuk melanjutkan study mereka di Madinah, Arab Saudi. Saat ini mereka sedang menanti pemberitahuan hari H pemberangkatan ke Arab Saudi dari pihak Universitas. Melalui ponsel Bung Ulin Nuha, teman-teman saling bergantian ngobrol dengan Azzam dan Iqbal. Teman-teman merindukan mereka berdua. Dari perbincangan lewat pesawat telefon tersebut terbaca suasana yang haru. Kami saling meminta maaf, memberi motifasi dan juga tidak lupa saling doa-mendoakan untuk kebaikan kami semua.
Semuanya telah duduk rapi di dalam bus tanggung ber ac itu. Tujuan selanjutnya adalah kebun stroberi. Kesanalah kami melanjutkan perjalanan wisata. Menikmati perkebunan stroberi yang hijau di sepanjang lembah. Memetik buah stroberi langsung dari pohonnya. Bus melaju menuruni bukit dengan pelan. Memasuki jalan desa yang telah diaspal namun sangat sempit untuk dilewati bus tanggung kami. Setelah seperempat jam perjalanan akhirnya kami sampai di kebun stroberi. Tiba disana rintik gerimis  masih menyertai kami. Kami semua turun dari bus dan segera berteduh di pesanggrahan kebun stroberi. Kami saling tanya-menanya satu sama lain. Akankah kami melanjutkan memetik stroberi dengan keadaan gerimis  sedangkan diantara kami hanya ada empat orang yang membawa payung? Beberapa teman sangat menyayangkan bila kami sudah sampai di kebun stroberi tidak memetik buah stroberi langsung dari pohonnya hanya gara-gara rintik gerimis seperti itu.
Setelah mempertimbangkan baik-baik akhirnya kami memutuskan untuk mengabaikan gerimis kecil itu dan lebih memperdulikan perjalanan yang telah kami tempuh. Kami semua terjun ke perkebuanan stroberi dengan bergerimis-gerimis ria. Kami mengambil keranjang dan gunting yang telah disediakan di bagian kasir di saung sana. Dengan bermodalkan empat buah payung kami turun ke kebun stroberi.
Pemandangan yang sangat menakjubkan. Kebun stroberi yang hijau menyegarakan pandangan menghampar di sepanjang lembah. Lembah-lembah yang disepuh dengan warna hijau alam. Rintik gerimis menjadi teman akrab kami. Sejauh mata menghamburkan pandangan yang ada hanya lembah-lembah stroberi yang sangat mengesankan. Pelangi di seberang lembah membuat sore itu terasa semakin semarak. Canda-tawa teman-teman seolah menjadi alunan suara musik yang kian meriangkan suasana. Udara di sepanjang lembah yang membentang itu terasa dingin-dingin sejuk, sejuk-sejuk dingin. Maklum saja, udara pegunungan memang demikian.
Bebuahan stroberi yang merah ranum sedari tadi melambai-lambai kepada kami. Mereka berteriak-teriak kepada kami untuk segera dipetik dari pohonnya. Dikarenakan kami hanya membawa empat buah payung, maka kami menggunakan payung itu dengan berpasang-pasang untuk turun ke kebun stroberi. Satu payung dua orang. Saya berdua dengan Husna. Saya yang memetik buah dan husna yang memayungi serta mengikuti saya kesana-kemari memilih-milih buah stroberi yang telah ranum di pohonnya.
Husna bergantian pasangan dengan yang lain. Ia berbagi payung dengan teman yang lain. Saya sendiri tidak berpayung lagi. Sebenarnya pula tidak masalah bagi saya. Saya senang ditemani dengan rintik gerimis. Sebagian teman-teman yang lain pun demikian. Mereka sangat menikmati sore yang indah itu. Mereka tetap saja bersuka-cita memetik buah stroberi langsung dari pohonnya tanpa payung. Gerimis bukanlah masalah. Saya berjalan kesana-kemari mengitari lembah stroberi.
Saya berpapasan dengan Eva, salah satu teman kami yang membawa sebuah payung. Ia sendirian dan hanya menikmati indahnya suasana dan pemandangan. Ia menikmati hangatnya kebersamaan diantara kami yang mampu mengalahkan dinginnya udara pegunungan saat itu. Ia tidak ikut memetik buah stroberi. “hay Eva, ente nggak ikut metik buah ya? Sini ikutin ane aja yuk , sambil payungin ya ! hehe… “ ajak saya. Kami berdua pun menyusuri lembah-lembah stroberi sepayung berdua. Eva yang memayungi dan saya yang membawa keranjang dan gunting. Eva menunjuk-nunjukkan bebuahan stroberi yang sudah masak dan merah ranum lalu saya menghampiri dan memetiknya.
Begitu juga dengan teman-teman lain yang mendapat payung, mereka saling payung-memayungi yang tidak berpayung. Sungguh kebersamaan yang tidak terlupakan. Keadaan yang seperti itu yang tidak bisa kami temukan di kelas. Ketika di kelas seolah hubungan yang ada diantara kami itu dikekang oleh formalitas. Kami bersikap saling tertutup. Kami saling menjaga jarak antara yang satu dengan yang lain. Kami hanya bicara seperlunya. Yang ada hanya kejumudan. Apalagi kalau ada mata kuliah yang menurut kami dosen dari mata kuliah tersebut sangat killer. Tentunya kami merasa seolah sangat jenuh di kelas. Kami butuh menghibur diri. Kami butuh refresing. Dengan adanya tamasya kelas seperti ini setidaknya akan terjalin hubungan yang harmonis diantara kami. Agar kami tidak lagi bersikap saling tertutup. Agar kami tidak lagi dibuat jenuh dan suntup memikirkan mata kuliah yang kami anggap sulit dan dosennya kami anggap sangat killer.
Kami selesai memetik buah stroberi. Keranjang-keranjang yang tadi kosong kini telah terisi buah-buah stroberi yang merah ranum dan menggiurkan. Kami membawa keranjang-keranjang itu ke tempat kasir untuk ditimbang berapa banyak buah yang telah kami petik. Satu persatu teman-teman merogoh kocek untuk membayar buah-buah tersebut. Satu ons buah stroberi kami bayar dengan harga lima ribu rupiah. Saat menyerahkan keranjang untuk ditimbang buahnya, Marom, salah satu teman kami, oleh kasir ia diminta untuk mengambil beberapa buah lagi karena buah-buah stroberi yang ada di keranjangnya itu belum mencapai satu ons.
Lucu memang, di tengah-tengah kebun stroberi yang menghampar luas di sepanjang lembah itu ia hanya mampu memetik beberapa buah stroberi, tidak sampai satu ons. Saya hanya tertawa maklum kepadanya. Saya perhatikan sedari tadi ia terlihat sangat riang dan girang. ia memang ikut memetik buah stroberi, namun ia lebih banyak bercanda-canda diantara kami. Dialah pembuat semarak suasana dengan guyonan-guyonan lucunya. Dan saya juga perhatikan sedari tadi nampaknya ia lebih menikmati suasana yang ada, hangatnya kebersamaan di tengah kebun sroberi yang membentang luas di sepanjang lembah berudarakan dingin-dingin sejuk. Ia juga terpukau dengan pemandangan yang ada hingga ia tidak terlalu sadar bahwa buah-buah stroberi yang dipetiknya itu baru sedikit.
 Buah-buah stroberi yang telah dipetik tadi kini siap menjadi oleh-oleh yang akan kami bawa pulang. Ada beberapa teman yang saling cicip-mencicipi buah yang telah dipetik. Begitu juga dengan saya. Saya membagi-bagikan buah yang telah saya petik. Saya tidak membawa pulang satu buah pun dari stroberi yang telah saya petik.
Saatnya bagi kami untuk shalat Ashar. Beberapa teman ada yang sudah shalat  Ashar dengan cara dijama’ taqdim dengan shalat Dluhur ketika masih di air terjun tadi siang. Beberapa dari teman saya lagi sudah selesai mendirikan shalat di masjid desa yang ada di dekat kebun stroberi itu. Saya dan Marom menyusul ke masjid. Kami berdua adalah orang yang terakhir shalat diantara yang lain. Teman-teman menunggu kami di bus yang siap jalan.
Ketika di berada di masjid, Marom bertanya kepada saya : “Ipung, ente bawa sarung nggak? ane pinjem ya. Ane nggak yakin celana yang ane pakai ini suci.” “aduh ane nggak bawa sarung tu rom. Terus ente shalatnya gimana ni?” saya terdiam sejenak tersadar bahwa kami berdua telah ditunggu teman-teman yang lain di dalam bus. Dalam kondisi terpojok seperti itu saya mendapat ide. “gini aja rom, mumpung di dalam masjid ini lagi sepi ente pakai aja mukena perempuan bagian bawah sebagai pengganti sarung. Kita terpaksa rom, temen-temen juga udah pada nunggu di sana. Gimana?” tawar saya. Marom kepalanya celingak-celinguk mengamat-amati keadaan di sekitar masjid dan di dalam masjid. Keadaannya sunyi sepi. “okk baiklah, nggak ada pilihan lain.”
Saya telah menyelesaikan shalat ashar.maram baru rekaat pertama. Saya kesulitan menyembunyikan tawa melihat marom shalat dengan pakaian seperti itu.meskipun jika dilihat sekilas kainitu nampak seperti sarung yang berwarnakan putih pada umumnya, namun saya tahu itu adalah mukena bagian bawah yang diambil marom dari rak mukena yang ada dipojok belakang sebelah kanan - dalam masjid.
Saya benar-benar kesulitan menyembunyikan tawa yang sedari tadi saya tahan-tahan. Pada rekaat terakhir Marom shalat Ashar, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak tua yang memasuki masjid. Ia juga hendak melaksanakan shalat seperti kami. Syukurnya ia tidak memperhatikan keadaan sekitar. Ia langsung menuju barisan terdepan di sudut kiri masjid sehingga ia tidak tahu apa yang kami lakukan karena kami berada di sisi kanan – dalam masjid. Nampaknya shalatnya terlihat begitu khusyu’. Marom tahu ada seorang bapak-bapak tua yang memasuki masjid. Marom semakin mempercepat ritme shalatnya. Menyelesaikan sisa rekaat terakhirnya dengan agak tergesa-gesa.
 Setelah salam ia berjalan mengendap-endap layaknya seorang pemburu yang baru saja mengokang senapan dan bersiap membidik buruannya. Ia berjalan pelan sekiranya suara langkah kakinya tidak terdengar oleh bapak tua yang ada di sebelah kiri barisan terdepan-dalam masjid itu. Marom menuju rak mukena yang ada di pojok belakang sebelah kanan-dalam masjid.  Saya dan Marom keluar dari masjid. Saya mengeluarkan tawa yang sempat saya tahan-tahan tadi. Saya tertawa selepas-lepasnya. “hahaha…. Marom..marom… gokil ente !” si Marom hanya nyengir dengan perasaan yang sangat lega akhirnya ia bisa shalat juga. “hehehe… untung aja bapak-bapak tadi nggak tau.. wkwkwk.” Maram cekikikan. Kami berdua melihat bus kami sudah mulai jalan. Kami lari tunggang-langgang menghampiri bus itu. Akhirnya kami masuk bus juga.
            Ketua kelas mengabsen kami satu-satu. Semua telah genap memasuki bus tanpa ada yang tertinggal satupun. Tibalah saatnya bagi kami untuk pulang. Bus melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Di dalam bus tanggung yang dingin itu kami saling membagi cerita. Berbagi kesan-kesan selama perjalanan wisata kelas dari awal perjalanan hingga pulang. Kami Saling bercanda menghidupkan suasana di dalam bus ber ac itu. Lagu pop dan rap yang diputar di dalam bus itu mengiringi canda tawa kami.
            Sepanjag perjalanan kami juga saling beradu bermain gombal-gombalan. Ternyata teman-teman saya mahir-mahir dalam hal gombal-menggombal. Baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Si Husna memulai menggombal: “Marom Marom, kamu tau nggak bedanya SPBU  sama kamu ?” si marom menggelengkan kepala. “nggak tau, emangnya apaan?” kepalanya digelayuti tanda tanya. Husna menjawab: “kalau SPBU itu ngisi tangki motor aku dengan bensin, tapi kalau kamu itu mengisi hati aku dengan cinta. Ahaha…” Semua orang tertawa-tawa lepas mendengar si husna menggombal seperti itu. Marom juga tertawa lebar mendengarnya. Suasana bus semakin gaduh dibuat Husna dan Marom.
Si Marom berfikir sejenak untuk membalas gombalan dari si Husna. Belum sempat mendapat ide, tiba-tiba si Nay bertanya kepada Marom:  “Marom Marom, aku boleh pinjem korek api kamu nggak ?“ pinta si Nay. si Marom mengernyitkan keningnya. “korek api ? korek api untuk apa Nay?” tanya Marom. “korek api untuk menyalakan cinta di hati kita. ahaha….” si Nay tertawa lebar. Seketika tawa teman-teman kembali meriuh di dalam bus.
Ajang gombal-gombalan seperti itu sepertinya menjadi tren anak-anak muda saat ini. Bermula dari adanya sebuah acara lawak di salah satu stasiun televisi yang di dalamnya ada satu tokoh pelawak yang gemar sekali menggombal ketika sedang melawak. Kepiawaiannya menggombal itu nampaknya mendapat respon yang positif dari khalayak ramai. Sehingga pada akhirnya banyak orang-orang yang meniru gaya pelawak tersebut dalam masalah gombal-menggombal. Bahkan, ada sebuah stasiun televise yang menyiarkan progam khusus yang di dalamnya berisi semacam ajang atau kompetisi untuk saling bergombal-gembel. Di dalam acara tersebut seorang yang paling bisa membuat rayuan-rayuan gombal dengan bagus akan dianggap sebagai pemenang oleh dewan juri. 
Teman-teman mulai kehabisan ide untuk meneruskaan permainan rayu-rayuan gombal tersebut. Mereka mulai membicarakan tentang siapakah orang yang memulai gombal-menggombal yang baru saja selesai mereka lakuakan itu. Ada-ada saja memang teman-teman saya. Komentar-komentar bermunculan, namun pada akhirnya mereka sepakat untuk menyematkan Andre Taulani sebagai orang yang pertama memulai gombal-menggombal. Ia adalah salah artis sekaligus pelawak yang gemar menggombal di salah satu acara lawak yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisI sehingga banyak orang yang menirukan gaya khasnya tersebut, termasuk juga beberapa selebritis tanah air yang juga banyak menirukannya.
Teman-teman juga mengomentari artis-artis yang hanya ikut-ikutan gayanya si Andre. Agaknya teman-teman kurang begitu berkenan dengan gaya para artis yang hanya bisa ikut-ikutan gayanya si Andre. Mereka memandang seorang selebritis itu sewajarnya menjadi contoh atau panutan, bukannya malah ikut-ikutan tren selebritis lain. Kalau mereka tidak bisa menciptakan tren di masyarakat ya sudah, tidak perlu mereka mengikut-ikuti tren selebritis lain. Masa jeruk minum jeruk? Begitulah pandangan sebagian dari mereka.
“Ah, nggak kreatif kata gue mah !”  Ujar salah seorang teman saya di dalam bus. Mereka juga sempat menyinggung beberapa nama selebritis yang gemar ikut-ikutan gayanya Andre Taulani seperti Jesica, Olga, Wendy, Narji dan Deny cagur serta beberapa artis lainnya. Akhir-akhir ini banyak acara lawakan-lawakan yang disiarkan televisi di Indonesia mulai populer. Dan sepertinya hampir semua pelawak di dalamnya sudah mulai akrab dengan istilah gombal-menggombal.  “emang ya, sekarang di Indonesia lagi musim lawak.” Ujar Rijal saat itu.
Bus mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Rasa letih mulai nampak tersirat di wajah teman-teman. Banyak dari mereka mulai tertidur di kursi. Salah seorang dari teman kami meminta pak sopir untuk mematikan musik yang sedang diputar. Maklum saja mereka letih, baru saja seharian mereka naik turun gunung, berbasah-basahan di air terjun, dan jalan-jalan mengitari kebun-kebun stroberi.
Di tengah-tengah perjalanan, Rijal membangunkan kami semua untuk mengingatkan kami bahwa kami telah sampai di tempat pusat penjualan oleh-oleh. Kami turun dari dari bus. Berberapa teman ada yang tidak turun. Sepertinya mereka masih merasa letih karena perjalanan yang telah ditempuh dengan berjalan kaki seharian cukup panjang. Mereka hanya menitip untuk dibelikan beberapa jajanan khas.  Saya dan teman-teman yang ikut turun dari bus langsung menyerbu toko-toko dan lapak-lapak yang menjual oleh-oleh khas di sepanjang jalan. Saya hanya membeli asinan dan beberapa buah alpukat untuk saya nikmati sendiri sesampainya di kosan. Teman-teman juga membeli oleh-oleh. Dari mereka ada yang membeli moci (oleh-oleh khas bogor), ada yang membeli asinan, ada yang membeli tape piyem, ada yang membeli buah manggis, buah salak dan lain-lain.
Yang saya heran dan membuat saya tertawa-tawa adalah ada salah seorang teman saya ada yang membeli pete. Entah mengapa ia membeli pete di sana. Bukankah di pasar-pasar tradisional dekat tempat ia tinggal juga banyak yang berjualan pete? Entahlah. Teman-teman juga sempat meledek-ledek dirinya karena membeli pete. Mereka menertawakannya. Ia hanya menjawab: “yee..biarin si ! orang gue demen ama pete. Apalagi jengkol ? beuh… mantabh, demen banget dah pokoknya gue. Itu makanan betawi tuh, mantabh! Tadi kalau ada jengkol gue beli juga dah! Hehe…” dengan cueknya dan dengan santainya ia mengabaikan ledekan teman-teman.
Beberapa teman perempuan masuk bis membawa tape piyem yang wadahnya berbentuk keranjang seperti keranjang ayam. “woy awas minggir nih, ada orang mau pulang kampung bawa ayam. Hahaha…. Tuuh keranjang tape piyemnya mirip keranjang ayam. Haha…” ledek si Kresna kepada teman-teman perempuan tadi. Suasana bus yang penuh dengan ledek-ledekan bercandaan.
Semua telah masuk ke dalam bus dengan membawa oleh-oleh masing-masing. Perasaan senang, lega, letih, lelah dan puas beraduk menjadi satu. Kini lengkaplah sudah perjalanan yang penuh suka cita itu. Bus kembali lagi melanjutkan perjalanan dengan kecepatan tinggi.
 Di tengah suasana teman-teman yang sedang memejamkan matanya namun belum pulas benar, Marom memecah keheningan memanggil-manggil nama saya, “Ipung Ipung, kamu orang Kudus ya?” tanya marom. Saya menyadari Marom hendak mengerjai saya, tapi saya sengaja membiarkan ia meneruskan guyonannya. “iya. Kok tau sih?” jawab saya. “karena wajah kamu itu unik mirip jenang Kudus. Ahahaha… “ si Marom tertawa lebar. Teman-teman di dalam bus yang tadinya memejamkan mata namun telinga masih mendengar seketika membuka kedua bola mata mereka dan ikut-ikutan tertawa lebar.Suasan di dalam bus gaduh dibuatnya.
Nampaknya mereka puas menertawakan saya dan menertawakan guyonan si Marom. Saya hanya tersenyum lebar melihat ekspresi si Marom yang terlihat senang karena guyonannya itu berhasil menghidupkan kembali suasana. Saya senang mempunyai teman seperti Marom dan teman seperti teman-teman sekelas saya di kelas. Selanjutnya, teman-teman sudah tidak bisa lagi mentolerir rasa lelah mereka. Mereka kembali memejamkan mata. Kali ini mereka benar-benar tertidur pulas. Saya juga ikut tertidur pulas.
 Adzan Isya masjid Fathullah (masjid Jami’ di depan kampus 1 UIN Jakarta) berkumandang, akhirnya bus sampai juga di halte baru kampus 1. Kami semua turun dengan semua barang-barang milik kami. “Teman-teman jangan lupa semua barang bawaan pastikan nggak ada yang tertinggal ya ! Ayo dicek dulu semuanya kali aja ada yang ketinggalan !” ujar Nurul Fikriyah kepada kami. Ia adalah orang yang paling terahir keluar dari bus diantara teman-teman saya yang lain. Sepertinya ia sangat teliti dalam memastikan barang-barang bawaan dari kami agar tidak ada yang tertinggal di dalam bus.
Sebelum semuanya berpisah, kami berkumpul terlebih dahulu. Malam itu, kami berdiri di pinggir jalan Ir. H. Juanda,  membentuk sebuah lingkaran. Rijal memimpin penutupan dan perpisahan itu dengan menyampaikan beberapa pesan, harapan dan doa untuk kami semua. Kami mengangkat tangan kami sembari meneriakkan yel-yel. Rijal mulai memberi komando: “jamaah…? “. Kami menjawab: “ iyeeeh..” rijal meneruskan:  “oooh jamaaaah….  Alhamdu??” kami menjawab:  “lillaaah.” Rijal meneruskan lagi:  “Semangat FDI !” kami serentak menyahut: “Yes Yes Yes!”


……………………………sekian………………………………..

Tamasya Kelas di Curug Cibeureum


Oleh: Ahmad Syaiful Huda, 20 januari 2012, Tangerang Selatan.



Setelah ujian akhir semester tiga kemarin, saya bersama teman-teman sekelas saya di Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Jakarta mengadakan tamasya ke curug (air terjun) Cibeureum yang terletak di dalam  kawasan Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) Cibodas, tepatnya di desa Sindang Laya, kecamatan Pacet, kabupaten Cianjur, Profinsi Jawa Barat.
Kami menyewa sebuah bus tanggung ber AC untuk kami tumpangi sampai di sana. Dalam satu kelas, tidak semuanya teman kami bisa ikut  acara tamasya kelas itu. Ada beberapa teman yang tidak bisa ikut karena mereka ada halangan. Ada juga yang tidak bisa ikut karena  ingin langsung pulang kampung menikmati liburan semester bersama keluarga dan ada pula beberapa teman yang enggan ikut setelah mempertimbangkan ongkos perjalanan yang menurutnya terlalu mahal.
Dalam satu bus tanggung berwarna biru itu kami berjumlah Sembilan belas orang ditambah seorang supir dan seorang kernet, jadi masih ada beberapa kursi yang kosong. Meskipun acara tamasya kelas kali ini tidak semua teman bisa ikut, tapi kami bertekat untuk membuat acara itu tetap berkesan, dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan tentunya akan lebih bisa mengharmoniskan hubungan diantara kami.
Kami berangkat dari halte baru UIN Jakarta pukul 07.35. Awalnya kami sempat merasa khawatir dan gundah gulana ketika kami menunggu bus yang telat datang menjemput kami. Bus yang telah kami pesan untuk menghampiri kami pukul 07.00 di depan halte itu telat sekitar 25 menit. Pantas saja kami merasa khawatir dan gundah gulana karena selama masa penantian itu kami telah berulang kali menghubungi nomor hp supir bus itu namun tak juga ada jawaban. Saya perhatikan teman-teman yang gelisah menghubungi nomer hp itu namun berkali-kali tak juga diangkat.
Sempatlah saya beberpa kali menelepon dengan ponsel saya namun hasilnya sama, tidak ada yang mengangkat. Salah seorang teman kami yang merasa bertanggung jawab atas bagian akomodasi merasa bersalah atas peristiwa itu. Sudah semestinya bus yang dipesannya datang tepat pada waktunya. “Aduuuh, ko busnya nggak dateng-dateng siii ! Pakai  nggak diangkat segala lagi ni ditelfon ! Aduh temen-temen maafin Sita yaa.. Sita jadi ngerasa nggak enak ni sama kalian semua udah pada nungguin. “ Terbaca raut wajahnya yang  penuh cemas menanti bus pesanannya datang. Setelah beberapa lama kami menunggu akhirnya bus datang juga. Kami merasa lega dan langsung saja semua memasuki bus satu demi satu.
Bus siap melaju. Oleh ketua kelas, kami diabsen terlebih dahulu sebelum berangkat. Masih ada dua orang perempuan yang belum memasuki bus. Mereka masih di perjalanan menjuju halte. Kami menunggu dua orang teman kami yang belum datang itu. Beberapa jenak kemudian mereka datang dan bergabung bersama kami di dalam bus. Ketua kelas memimpin doa sebelum berangkat. Perjalanan dimulai.
 Setelah sekitar tiga jam perjalanan tanpa ada macet kami pun sampai di Cibodas. Bus memasuki pintu masuk kawasan wisata Kebun Raya Cibodas. Kami semua turun dari bus setelah bus terpakir di tempat parkir. Pintu masuk menuju ke Curug Cibeureum terletak di sebelah utara sekitar 500 m dari pintu masuk utama Kebun Raya Cibodas. Pintu masuk ini juga merupakan jalan masuk menuju pendakian Gunung Gede – Pangrango. Curug Cibeureum berjarak sekitar 2,6 km atau satu jam dengan berjalan kaki dari gerbang masuk taman nasional.
Rombongan kami berjalan mengikuti Rijal, salah satu teman kami yang telah berpengalaman beberapa kali datang ke Curug Cibeureum di Cibodas itu. Ia berada di depan memandu perjalanan kami. Saat itu sempat kami dibuat bingung oleh salah seorang ibu-ibu yang berjualan tikar kecil yang mengarahkan kami untuk mengikuti jalan yang ia tunjukkan. Tanpa kami meminta, ibu itu bersedia mengantarkan kami menuju Curug Cibeureum. Baik sekali ibu itu. Baru beberapa langkah  kaki mengiktuinya, kami dipanggil-panggil Rijal. Ia yang tadinya berjalan cepat di depan kami nampaknya mulai sadar bahwa kami tak lagi mengikutinya. Ia kembali menyusul kami yang telah berbelok arah dan  baru beberapa langkah mengikuti langkah kaki ibu-ibu tadi.
Rijal memberitahu kami bahwa ibu-ibu penjual tikar itu bersedia menunjukkan kami jalan menuju curug karena profesinya selain berjualan tikar ia juga berprofesi sebagai guide. Nantinya kami  akan dimintai biaya atas jasa yang telah ia berikan. Kami baru menyadarinya. Kami juga merasa bersalah kepada si Rijal. Harusnya kami lebih percaya kepada teman kami sendiri. Kami berhenti mengikuti ibu penjual tikar tadi. Kami berbalik arah mengikuti langkah kaki Rijal.
Sepanjang perjalanan menuju curug itu kami menemui beberapa tempat yang menarik, juga beberapa tempat peristirahatan yang sengaja dibangun oleh pengelola. Selang setengah jam kami berjalan dari pintu masuk kami menemui pos pertama. Di pos pertama ini terdapat pusat informasi, tempat istiraht dan toilet.
Selanjtunya kami melanjutkan perjalanan menuju pos yang kedua. Rombongan mulai terpisah. Sebagian berada terdepan dan sebagian berada terbelakang. Saya dan empat orang lainnya termasuk dalam kelompok yang tertinggal di belakang. Empat teman saya yaitu: Agung, Dharma, Sita dan Diny. Saya dan Agung mendapat bagian membawa bekal lauk-pauk sampai curug, sementara nasinya  dibawa oleh kelompok terdepan. Sampailah kami di pos kedua yang terletak di dekat telaga biru atau juga disebut dengan Telaga Magis. Di sana kami berlima beristirahat sejenak. Kami tidak mau  duduk-duduk di pos itu karena kami pikir tempatnya agak serem dan kebersihannya kurang terjaga.
Sitta, Dharma dan Diny menceburkan kaki mereka kedalam aliran sungai kecil yang dangkal dan berada di sebelah kiri jalan. Mereka mencuci tangan dan membasuh wajah mereka dengan air yang terasa sangat dingin seperti air es  itu. Saya dan Agung enggan untuk mengikuti apa yang mereka lakukan. Kami berdua memakai sepatu sedangkan mereka memakai sandal. Saya dan Agung akan kerepotan kalau harus lepas-pakai sepatu. Sita memberikan kamera digitalnya kepada Agung. Ia meminta tolong untuk difoto. Diny juga ikut-ikutan memberikan ponsel kameranya kepada saya. “Ipung, Diny juga minta difotoin yah.” Ujarnya. Darma, Sitta dan Diny berdiri berfose di bawah papan informasi Telaga Biru.
Usai berfoto-foto, Sita memberi saya dan Agung snack keripik kentang. Kami masih di Telaga Magis untuk beristirahat sejenak. Saya membaca papan informasi Telaga Magis yang ada di sana. Selain disebut sebagai Telaga Magis, telaga itu juga disebut sebagai Telaga Biru.Telaga (dengan luas sekitar 0,25 ha) ini mempunyai air yang berwarna biru kehijau-hijauan karena di dalam telaga ini terdapat ganggang hidup sehingga membuatnya berwarna biru.
Kami melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan sekitar 2 km, kini perjalanan kami melewati jembatan yang terbuat dari susunan potongan kayu yang rapi diatas rawa Gayonggong. Gayonggong sendiri merupakan jenis rumput. Kami merasa aman melewati jembatan itu meskipun ada beberapa kayu yang sudah bolong karena rapuh. Lintasan jembatan kayu ini lumayan panjang jika sekedar untuk disebut sebagai jembatan, sampai sedikit berkelok-kelok juga. Di jembatan kayu ini ada tempat istirahat untuk sekedar melepas lelah atau mengabadikan pemandangan.
Jalur jembatan kayu kembali berganti dengan lintasan bebatuan, dan tidak lama kemudian kami sampai di pos yang ketiga yang terletak di sebelah persimpangan (pertigaan) dan dinamakan Panyancangan Kuda. Di sana ada papan penunjuk arah, dengan arah kiri menunjuk lokasi air panas, Kandang Badak dan Puncak Gede, sedangkan arah kanan ke Curug Cibeureum dan Puncak Pangrango. Kami menuju ke arah kanan. Jalan yang kami lalui agak menurun sedikit dan datar. Waktu tempuh menuju curug sekitar lima belas menit lagi dari persimpangan tersebut. Berulang kali kami harus menghentikan perjalanan untuk istirahat sebentar demi memenuhi permintaan Diny dan Sitta yang hampir tidak kuat lagi meneruskan perjalanan.
Saya  dan Agung membawa lauk-pauk yang terdiri dari tiga kotak berukuran lumayan besar, maka dari itu kami membawanya berdua agar terasa ringan. Kami berlima adalah kelompok terbelakang dari satu rombongan kelas yang tiba di Curug Cibeureum terakhir. Di sana sudah ada berberapa teman yang sedang bermain-main air. Sebagian yang lain sudah ada yang pakaiannya basah kuyup dan menggigil kedinginan di pojok saung. “lho Ipung, kok kalian baru pada nyampe di atas si? Ngapain aja tadi di bawah? Wajah kalian pada pucet dah?“ tanya Tsalis. Ia menggigil kedinginan di pojok saung. Saya hanya melemparinya dengan senyum paksa tanpa saya jawab pertanyaannya. “gimana nggak pucet ? orang lagi capek bawa lauk-pauk segitu banyaknya dari bawah ampe atas nggak ada yang gantiin coba ! “ gerutu saya dalam hati.
Sesampainya di curug, saya ditawari sebatang rokok oleh salah satu teman saya. Saya menerimanya. Saya meletakkan  barang-barang di saung yang ada di depan curug. Saya mencuci muka dengan air curug yang dinginnya bukan main. Setelah itu baru saya merokok. Udara dingin pegunungan menyelimuti tubuh saya dan teman-teman. Bilur-bilur air embun dari hempasan aliran air terjun yang mengalir deras dari tebing batu setinggi antara 40-50 meter itu menyembur kemana-mana karena terbawa angin. Dengan keadaan yang sangat dingin seperti itulah yang mendorong saya untuk menerima tawaran sebatang rokok dari teman saya. Beberapa teman perempuan yang melihat saya sedang merokok agak kaget. Mereka mengingatkan saya agar tidak merokok. Mereka mengatakan bahwa saya tidak “cocok” merokok.
Memasuki waktu shalat Dzuhur, kami segera mengambil air wudlu di aliran air terjun. Kami mencari tempat untuk bersujud. Kami berjalan menuju bebatuan besar yang ada di sebelah kanan Curug Cibeureum. Kami memilih bebatuan besar kering yang tentunya tidak licin untuk dipijak. Kami memutuskan untuk shalat di atas bebatuan besar yang ada di sana. Sungguh eksotis nian, kami bersujud kepada sang Khalik di atas bebatuan besar – di bawah curug yang menjulang tinggi hasil ciptaan-Nya itu. Kami merasa benar-benar menyatu dengan alam semesta. Berpeluk-pelukan dengan alam pegunungan yang berudarakan dingin menusuk-nusuk tulang. Kami semua menghayati betapa maha agungnya Tuhan kami yang telah menciptakan alam semesta yang agung ini dengan segala keindahannya. Semua teman-teman mentadaburi alam hasil ciptaan sang Khaliq. Dialah sang pencipta jagat raya. Tidak satu pun dapat menandingi-Nya. Dialah Allah, Tuhan yang maha sempurna dengan segala sifat-Nya.
Seusai shalat, kami berkumpul untuk duduk membentuk lingkaran. Kami membuka perbekalan-perbekalan yang telah kami siapkan untuk makan siang satu rombongan. Ada nasi, tempe, telor ayam dan sayur toge. Setelah berdoa bersama, kami menyantap makan siang itu dengan lahapnya. Sungguh itu adalah kebersamaan yang menghangatkan suasana. Sebuah kebersamaan yang tidak akan pernah kami peroleh di dalam kelas, atau bahkan juga di kampus.
Makan siang selesai. Shalat juga sudah kami laksanakan. Kini saatnya bermain-main air di Curug Cibeureum. Teman-teman yang tadi sudah bermain-main air sampai basah kuyup tidak berani lagi ikut-ikutan basah-basahan. Mereka telah menggigil kedinginan. Sekarang giliran teman-teman yang tadi belum sempat bermain-main air untuk bermain-main air dan berbasah-basahan di curug. Setelah dirasa cukup bermain-main airnya kami pun berfoto-foto terlebih dahulu. Kami berfoto bersama diatas gundukan batu besar yang ada di hadapan Curug  Cibeureum. Di curug itu pemandangannya sangat indah. Cocok untuk dijadikan background jika ingin berfoto-foto.
Curug cibeureum sendiri terdiri dari air terjun utama Curug Cibeureum, dan dua air tejun lain yang lebih kecil, Curug Cidendeng dan Curug Cikundul. Curug Cibeureum adalah air terjun terbesar dan paling pendek di kawasan ini, letaknya yang lebih terbuka dan dekat dengan perlindungan dan naungan sehingga orang-orang lebih banyak mengerumuninya. Nama Cibeureum berasal dari bahasa Sunda yang berarti sungai merah. Nama ini diambil dari nuansa merah dinding tebing yang terbentuk dari lumut merah yang tumbuh secara endemik disana.
Di sebelah kanan curug cibeureum tempat kami berfoto-foto adalah Curug Cidendeng, ukurannya lebih lebih tinggi dan langsing. Airnya melintasi tebing batu-batu trap dan jatuh menimpa lereng tebing yang berlumut. di curug cidendeng ini pula saya sempat dua kali jatuh terpeleset karena bebatuan yang ada di bawahnya sangat licin bukan main. Saat itu saya terjatuh hingga gelang jam tangan yang saya pakai terputus. Saya memutuskan untuk meninggalkan Curug Cidendeng karena berbahaya bagi keselamatasn saya. Saya kembali lagi ke Curug Cibeureum di sebelah kiri sana yang jauh lebih aman dan indah. Sedangkan curug yang paling kanan adalah Curug Cikundul. Letaknya  sangat tinggi dan agak tersembunyi di lubang / lekukan dua tebing.
Ketika kami sedang berfoto-foto kami melihat ada dua orang bule baru saja tiba di curug. Mereka memandang-mandangi air terjun yang ada di belakang kami. Mereka semakin mendekat dengan kami. Kebetulan saat itu kami sedang foto bareng, jadi kami ajak mereka untuk ikut foto bersama kami. Lumayan untuk kenang-kenangan foto bersama dengan bule, pikir kami.
Sebelumnya kami masih belum tau darimanakah asal kedua bule tersebut. Yang satu wajahnya agak ketimur-timuran dan yang satu lagi wajahnya agak kebarat-baratan. Kami tidak banyak bicara dengan mereka. Setelah kami perhatikan, ternyata mereka ngobrol dengan menggunakan bahasa arab. Kami pun segera menghampiri mereka. Kami berkenalan dengan mereka lebih jauh. Yang satu namanya fawaz, dia mengatakan bahwa dia sudah punya dua orang anak. Yang satunya lagi namanya Mubarak. Dia masih perjaka, masih lajang. Mereka berdua berasal dari Arab Saudi.
Mereka berdua datang ke Indonesia sejak sepuluh hari yang lalu dengan tujuan untuk siyahah / tamasya. Fawaz merasa terpesona dengan alam Indonesia. Dia bilang bahwasannya di arab Saudi tidak ada gunung-gunung seperti itu. Ada gunung, tapi tidak berpohon lebat seperti itu. Disana banyak gurun dan padang pasir. Mereka mengatakan bahwa tempat tinggal mereka di Arab Saudi sana dekat dengan kota Makkah. Dari rumahnya perjalanan menuju makkah bisa ditempuh dengan mobil hanya dengan dua jam perjalanan.
Mereka datang ke Cibodas dari Jakarta. Ketika kami tanya bagaimana suhu udara di Curug Cibereum mereka mengatakan bahwa disini dingin, akan tetapi lebih dingin ketika musim dingin di Arab Saudi. Katanya bisa sampai dibawah 5 derajat Celcius. Sama-sama dingin, tapi tetap masih lebih dingin di Arab Saudi ketika musim dingin. Bedanya adalah kalau di curug itu dinginnya dingin basah, tetapi kalau di Arab Saudi dinginnya dingin kering. Sedangkan di sana jika musim panas maka cuaca akan sangat panas sekali, karena suhu bisa mencapai  45 derajat Celsius. Selesai ngobrol-ngobrol kami pun berpisah. Mereka turun dari curug lebih dahulu. Mereka mengatakan hendak mencari sarapan siang di bawah sana. Senggang beberapa jenak dua orang Arab itu turun, kami pun ikut turun. Kami juga hendak melanjutkan perjalanan wisata.
Lagi-lagi pada saat menuruni curug kembali berjalan sepanjang 2,6 km rombongan kami terpecah menjadi dua. Dan lagi-lagi kami berada di kelompok yang tertinggal jauh di belakang. Saya bersama Tsany, Eva, Dharma, Sitta, Diny dan Haikal. Kami terus berjalan. Eva dan Tsany mempercepat langkah kaki meninggalkan kami. Mereka sudah tak terlihat lagi.
Saat sedang berada di perjalanan antara pos kedua dan pos ketiga dalam menuruni curug, saya, Haikal, Diny, Sitta dan Dharma menjumpai tiga ekor primata, namun kami tidak tahu persis jenis apakah primata itu. Kami menyebut satwa itu dengan sebutan monyet. Seekor monyet diantara mereka hendak menghampiri kami sehingga kami mempercepat langkah kaki. Kami takut akan disereang monyet itu karena kami tahu itu adalah monyet liar yang siap menyerang kami kapan saja. Tatapannya buas dan siap menerjang musuh yang berani mengganggunya. Barangkali mereka kira kami telah mengganggu mereka. Di sisi lain, kami merasa bahwa kami adalah orang-orang yang paling beruntung diantara teman-teman. Ternyata ada hikmahnya juga ya kami tertinggal di belakang dari rombongan yang ada. Ternyata hanya kami yang kebetulan dapat melihat langsung tiga ekor primata kawasan taman nasional langsung dari habitat aslinya.
Saya memutuskan untuk mempercepat langkah kaki. Saya semakin meninggalkan teman-teman yang masih berada di belakang saya. Akhirnya saya bisa menyusul kawan-kawan yang telah berada cukup jauh  di depan sana. Tak disangka ternyata rombongan teman-teman yang saya jumpai di depan telah bersama dua orang bule tadi. Sepertinya mereka telah terlihat akrab. Tidak disangka ketemu mereka lagi. Dua orang bule itu ternyata ikut berbaur dengan kami di sepanjang perjalanan menuruni gunung dan membelah hutan. Kali ini lebih akrab. Ada Rijal yang berbincang-bincang dengan Fawaz dan ada Nana juga yang asyik berbincang-bincang dengan Mubarak.
Kendati nana dan Rijal kurang tahu arti kata perkata yang keluar dari mulut kedua orang arab itu, namun nampaknya si Nana dan si Rijal bisa memahami apa yang mereka katakan. Demikian juga dengan kedua orang arab tersebut, kendati terlihat agak bingung dengan Bahasa Arab Rosmiyah (resmi, formal) yang kami gunakan, namun demikian mereka tetap bisa memahami maksud kata-kata kami. Maklum saja, mereka adalah orang arab yang kesehariannya berbicara satu sama lain dengan menggunakan Bahasa Arab Ammiyah (umum, pasaran). Dan cukup aneh memang, mereka kurang bisa menggunakan Bahasa Arab Rosmiyah mereka sendiri. Orang  Arab tapi tidak bisa berbahasa Arab (yang formal). Kami rasa mereka merasa senang.  Di Indonesia, Negara yang jauh dari Arab Saudi, mereka bisa bertemu dengan orang-orang yang bisa berbicara dengan bahasa Arab mereka.
Saya ikutan menyelinap pada rombongan teman-teman yang telah bersama dengan dua orang Arab itu. Saya harus aktif mengajak bicara dua orang Arab tersebut layaknya yang dilakukan teman-teman. Saya juga ingin melatih atau lebih bisa disebut menjajal kemampuan berbahasa  Arab saya. Ini adalah kesempatan yang langka. Meskipun di kelas kami ada satu dosen yang didatangkan langsung dari universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, untuk mengajar kami, namun dosen tersebut berbicara dengan bahasa formal atau bahasa rosmiyah. Nah, untuk kesempatan kali ini, dari sini saya bisa mengetahui  langsung bagaimana orang arab umum itu berbicara dengan menggunakan bahasa Ammiyah. Saya menghampiri si Mubarak. Saya cukup tertarik dengan tingkahnya. Tingkah lakunya mencerminkan jiwanya yang masih muda perjaka. Ia terlihat seperti remaja pada umumnya. Ia lincah. Ia periang, dan ia mudah bergaul dengan remaja lain seperti kami. 
Saya mengajak Mubarak mengobrol sepanjang perjalanan menuruni gunung dan membelah hutan. Mubarak dan Fawaz hendak turun untuk sarapan siang. Di atas tidak ada seorang pun yang menjual makanan.  Saya bertanya seputar makanan apa yang paling ia sukai selama di Indonesia. Ia menjawab bahwa selama di Indonesia ia belum melakukan wisata kuliner. Ia belum tau banyak masakan-masakan khas Indonesia. Ia minta direkomendasikan masakan khas Indonesia yang bisa ia nikmati. Saya merekomendasikan Mubarak untuk  mencoba nasi goreng, karena saya pikir di bawah sana nasi goreng akan mudah dijumapai di warung-warung atau restoran-restoran sederhana.
Saya mengajarinya mengucapkan kata nasi goreng, namun agaknya ia kesulitan untuk menirukan dan mengingatnya. Akhirnya ia meminta kertas dan pena untuk menulis kalimat nasi goreng. Saya memang membawa pena, tetapi untuk kertasnya saya tidak membawa. Mubarak kepalanya celingak-celinguk mengarah kepada teman-teman perempuan yang sedari tadi mengikuti kami (saya dan Mubarak) di belakang.  Mereka sedari tadi mendengarkan percakapan kami. Kendati mereka hanya berbicara bila ditanyai orang arab itu, namun mereka memahami apa yang kami bicarakan. Mubarak  meminta kertas dan meminjam pena untuk menuliskan kata “nasi goring” kepada teman-teman perempuan. Mereka juga tidak satupun yang membawa kertas dan pena.
Saya baru sadar, kenapa tidak ditulis di ponsel saja ya? Ahirnya saya meminta ponselnya Mubarak. Mubarak memanggil Fawaz yang ada di depannya dan sedang mengobrol juga dengan Rijal. Ia meminta ponselnya yang sedang dititipkan kepada Fawaz. Ia mengambil ponsel dari Fawaz dan menyerahkan kepada saya. Saya tuliskan kata nasi goreng di ponsel tersebut. Saya agak kesulitan menuliskan kata nasi goreng di ponsel itu. Keypadnya menggunakan huruf arab sedangkan saya menulis sembari berjalan menuruni bukit. Saya tidak mau tertinggal dari kawan-kawan.
Setelah selesai saya tuliskan kata nasi goreng, ponsel tersebut saya kembalikan kepada Mubarak. Ia membaca tulisan yang saya ketik di ponsel. Ia berusaha mengucapkan lagi dan lagi, akhirnya ia sudah bisa fasih mengucapkan kata nasi goreng. Ia penasaran dengan nasi goreng. “terbuat dari apakah nasi goreng itu? apakah di dalamnya ada ayamnya juga ?” tanya Mubarak penuh penasaran (menggunakan Bahasa Arab Ammiyah). Saya belum sempat menjawab tiba-tiba si Nana mendekat. Ia menyahuti Mubarak: “nasi goreng itu salah satu makanan khas Indonesia yang terbuat dari nasi yang digoreng dengan racikan bumbu khas. Biasanya memasaknya itu dikasih telor atau daging ayam.”
  Sepanjang perjalanan Saya dan teman-teman saling bergantian ngobrol dengan kedua orang arab itu. Langkah demi langkah dan setapak demi setapak kaki kami menuruni gunung dan menembus belantara, akhirnya kami sampai juga di bawah. Di pos masuk kawasan taman nasional itu kami berpisah dengan kedua orang arab. Kami saling bersalaman. Saya dan teman-teman menunggu beberapa teman yang masih tertinggal di belakang. Kedua orang arab melanjutkan perjalanan. Mereka mengucapkan terimakasih. Kami juga mengucapkan terimakasih. “ma’assalaamah, ilal liqoo’ ya ikhwan..” ujar fawaz dan Mubarak kepada kami.
Kini saatnya untuk kami melanjutkan perjalanan. Hujan mulai mengguyur kami. Kami berteduh di pos pintu masuk kawasan Taman Nasional. Semua teman telah berkumpul di sana. Kami sempat kawatir hujan akan lama turun karena jika demikian maka kami tidak bisa melanjutkan perjalanan wisata kami. Setelah menunggu seperempat jam Alhamdulillah ternyata hujan mulai reda, meskipun rintik gerimis masih menyelimuti perjalani kami, namun kami masih  bisa melanjutkan perjalanan. Kami masih harus berjalan untuk sampai di tempat parkir bus.
Sampailah semua di tempat parkir bus. Kawan-kawan semua telah berkumpul di sana. Para pedagang cendera mata menawar-nawarkan dagangannya kepada kami. Ada beberapa teman yang membeli gantungan kunci, ada yang membeli gelang dan ada yang hanya membeli makanan ringan hanya sekedar untuk camilan selama dalam perjalanan selanjutnya.
Saat kami sedang di dalam bus dan bersiap-siap melanjutkan perjalanan, Bung Ulin Nuha, ketua kelas kami, ponselnya berdenting-denting. Setelah diangkat ternyata itu adalah telfon dari Iqbal dan Azzam, dua kawan kami yang berhenti kuliah di jurusan kami. Mereka keluar dari jurusan kami sekitar sebulan yang lalu untuk melanjutkan study mereka di Madinah, Arab Saudi. Saat ini mereka sedang menanti pemberitahuan hari H pemberangkatan ke Arab Saudi dari pihak Universitas. Melalui ponsel Bung Ulin Nuha, teman-teman saling bergantian ngobrol dengan Azzam dan Iqbal. Teman-teman merindukan mereka berdua. Dari perbincangan lewat pesawat telefon tersebut terbaca suasana yang haru. Kami saling meminta maaf, memberi motifasi dan juga tidak lupa saling doa-mendoakan untuk kebaikan kami semua.
Semuanya telah duduk rapi di dalam bus tanggung ber ac itu. Tujuan selanjutnya adalah kebun stroberi. Kesanalah kami melanjutkan perjalanan wisata. Menikmati perkebunan stroberi yang hijau di sepanjang lembah. Memetik buah stroberi langsung dari pohonnya. Bus melaju menuruni bukit dengan pelan. Memasuki jalan desa yang telah diaspal namun sangat sempit untuk dilewati bus tanggung kami. Setelah seperempat jam perjalanan akhirnya kami sampai di kebun stroberi. Tiba disana rintik gerimis  masih menyertai kami. Kami semua turun dari bus dan segera berteduh di pesanggrahan kebun stroberi. Kami saling tanya-menanya satu sama lain. Akankah kami melanjutkan memetik stroberi dengan keadaan gerimis  sedangkan diantara kami hanya ada empat orang yang membawa payung? Beberapa teman sangat menyayangkan bila kami sudah sampai di kebun stroberi tidak memetik buah stroberi langsung dari pohonnya hanya gara-gara rintik gerimis seperti itu.
Setelah mempertimbangkan baik-baik akhirnya kami memutuskan untuk mengabaikan gerimis kecil itu dan lebih memperdulikan perjalanan yang telah kami tempuh. Kami semua terjun ke perkebuanan stroberi dengan bergerimis-gerimis ria. Kami mengambil keranjang dan gunting yang telah disediakan di bagian kasir di saung sana. Dengan bermodalkan empat buah payung kami turun ke kebun stroberi.
Pemandangan yang sangat menakjubkan. Kebun stroberi yang hijau menyegarakan pandangan menghampar di sepanjang lembah. Lembah-lembah yang disepuh dengan warna hijau alam. Rintik gerimis menjadi teman akrab kami. Sejauh mata menghamburkan pandangan yang ada hanya lembah-lembah stroberi yang sangat mengesankan. Pelangi di seberang lembah membuat sore itu terasa semakin semarak. Canda-tawa teman-teman seolah menjadi alunan suara musik yang kian meriangkan suasana. Udara di sepanjang lembah yang membentang itu terasa dingin-dingin sejuk, sejuk-sejuk dingin. Maklum saja, udara pegunungan memang demikian.
Bebuahan stroberi yang merah ranum sedari tadi melambai-lambai kepada kami. Mereka berteriak-teriak kepada kami untuk segera dipetik dari pohonnya. Dikarenakan kami hanya membawa empat buah payung, maka kami menggunakan payung itu dengan berpasang-pasang untuk turun ke kebun stroberi. Satu payung dua orang. Saya berdua dengan Husna. Saya yang memetik buah dan husna yang memayungi serta mengikuti saya kesana-kemari memilih-milih buah stroberi yang telah ranum di pohonnya.
Husna bergantian pasangan dengan yang lain. Ia berbagi payung dengan teman yang lain. Saya sendiri tidak berpayung lagi. Sebenarnya pula tidak masalah bagi saya. Saya senang ditemani dengan rintik gerimis. Sebagian teman-teman yang lain pun demikian. Mereka sangat menikmati sore yang indah itu. Mereka tetap saja bersuka-cita memetik buah stroberi langsung dari pohonnya tanpa payung. Gerimis bukanlah masalah. Saya berjalan kesana-kemari mengitari lembah stroberi.
Saya berpapasan dengan Eva, salah satu teman kami yang membawa sebuah payung. Ia sendirian dan hanya menikmati indahnya suasana dan pemandangan. Ia menikmati hangatnya kebersamaan diantara kami yang mampu mengalahkan dinginnya udara pegunungan saat itu. Ia tidak ikut memetik buah stroberi. “hay Eva, ente nggak ikut metik buah ya? Sini ikutin ane aja yuk , sambil payungin ya ! hehe… “ ajak saya. Kami berdua pun menyusuri lembah-lembah stroberi sepayung berdua. Eva yang memayungi dan saya yang membawa keranjang dan gunting. Eva menunjuk-nunjukkan bebuahan stroberi yang sudah masak dan merah ranum lalu saya menghampiri dan memetiknya.
Begitu juga dengan teman-teman lain yang mendapat payung, mereka saling payung-memayungi yang tidak berpayung. Sungguh kebersamaan yang tidak terlupakan. Keadaan yang seperti itu yang tidak bisa kami temukan di kelas. Ketika di kelas seolah hubungan yang ada diantara kami itu dikekang oleh formalitas. Kami bersikap saling tertutup. Kami saling menjaga jarak antara yang satu dengan yang lain. Kami hanya bicara seperlunya. Yang ada hanya kejumudan. Apalagi kalau ada mata kuliah yang menurut kami dosen dari mata kuliah tersebut sangat killer. Tentunya kami merasa seolah sangat jenuh di kelas. Kami butuh menghibur diri. Kami butuh refresing. Dengan adanya tamasya kelas seperti ini setidaknya akan terjalin hubungan yang harmonis diantara kami. Agar kami tidak lagi bersikap saling tertutup. Agar kami tidak lagi dibuat jenuh dan suntup memikirkan mata kuliah yang kami anggap sulit dan dosennya kami anggap sangat killer.
Kami selesai memetik buah stroberi. Keranjang-keranjang yang tadi kosong kini telah terisi buah-buah stroberi yang merah ranum dan menggiurkan. Kami membawa keranjang-keranjang itu ke tempat kasir untuk ditimbang berapa banyak buah yang telah kami petik. Satu persatu teman-teman merogoh kocek untuk membayar buah-buah tersebut. Satu ons buah stroberi kami bayar dengan harga lima ribu rupiah. Saat menyerahkan keranjang untuk ditimbang buahnya, Marom, salah satu teman kami, oleh kasir ia diminta untuk mengambil beberapa buah lagi karena buah-buah stroberi yang ada di keranjangnya itu belum mencapai satu ons.
Lucu memang, di tengah-tengah kebun stroberi yang menghampar luas di sepanjang lembah itu ia hanya mampu memetik beberapa buah stroberi, tidak sampai satu ons. Saya hanya tertawa maklum kepadanya. Saya perhatikan sedari tadi ia terlihat sangat riang dan girang. ia memang ikut memetik buah stroberi, namun ia lebih banyak bercanda-canda diantara kami. Dialah pembuat semarak suasana dengan guyonan-guyonan lucunya. Dan saya juga perhatikan sedari tadi nampaknya ia lebih menikmati suasana yang ada, hangatnya kebersamaan di tengah kebun sroberi yang membentang luas di sepanjang lembah berudarakan dingin-dingin sejuk. Ia juga terpukau dengan pemandangan yang ada hingga ia tidak terlalu sadar bahwa buah-buah stroberi yang dipetiknya itu baru sedikit.
 Buah-buah stroberi yang telah dipetik tadi kini siap menjadi oleh-oleh yang akan kami bawa pulang. Ada beberapa teman yang saling cicip-mencicipi buah yang telah dipetik. Begitu juga dengan saya. Saya membagi-bagikan buah yang telah saya petik. Saya tidak membawa pulang satu buah pun dari stroberi yang telah saya petik.
Saatnya bagi kami untuk shalat Ashar. Beberapa teman ada yang sudah shalat  Ashar dengan cara dijama’ taqdim dengan shalat Dluhur ketika masih di air terjun tadi siang. Beberapa dari teman saya lagi sudah selesai mendirikan shalat di masjid desa yang ada di dekat kebun stroberi itu. Saya dan Marom menyusul ke masjid. Kami berdua adalah orang yang terakhir shalat diantara yang lain. Teman-teman menunggu kami di bus yang siap jalan.
Ketika di berada di masjid, Marom bertanya kepada saya : “Ipung, ente bawa sarung nggak? ane pinjem ya. Ane nggak yakin celana yang ane pakai ini suci.” “aduh ane nggak bawa sarung tu rom. Terus ente shalatnya gimana ni?” saya terdiam sejenak tersadar bahwa kami berdua telah ditunggu teman-teman yang lain di dalam bus. Dalam kondisi terpojok seperti itu saya mendapat ide. “gini aja rom, mumpung di dalam masjid ini lagi sepi ente pakai aja mukena perempuan bagian bawah sebagai pengganti sarung. Kita terpaksa rom, temen-temen juga udah pada nunggu di sana. Gimana?” tawar saya. Marom kepalanya celingak-celinguk mengamat-amati keadaan di sekitar masjid dan di dalam masjid. Keadaannya sunyi sepi. “okk baiklah, nggak ada pilihan lain.”
Saya telah menyelesaikan shalat ashar.maram baru rekaat pertama. Saya kesulitan menyembunyikan tawa melihat marom shalat dengan pakaian seperti itu.meskipun jika dilihat sekilas kainitu nampak seperti sarung yang berwarnakan putih pada umumnya, namun saya tahu itu adalah mukena bagian bawah yang diambil marom dari rak mukena yang ada dipojok belakang sebelah kanan - dalam masjid.
Saya benar-benar kesulitan menyembunyikan tawa yang sedari tadi saya tahan-tahan. Pada rekaat terakhir Marom shalat Ashar, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak tua yang memasuki masjid. Ia juga hendak melaksanakan shalat seperti kami. Syukurnya ia tidak memperhatikan keadaan sekitar. Ia langsung menuju barisan terdepan di sudut kiri masjid sehingga ia tidak tahu apa yang kami lakukan karena kami berada di sisi kanan – dalam masjid. Nampaknya shalatnya terlihat begitu khusyu’. Marom tahu ada seorang bapak-bapak tua yang memasuki masjid. Marom semakin mempercepat ritme shalatnya. Menyelesaikan sisa rekaat terakhirnya dengan agak tergesa-gesa.
 Setelah salam ia berjalan mengendap-endap layaknya seorang pemburu yang baru saja mengokang senapan dan bersiap membidik buruannya. Ia berjalan pelan sekiranya suara langkah kakinya tidak terdengar oleh bapak tua yang ada di sebelah kiri barisan terdepan-dalam masjid itu. Marom menuju rak mukena yang ada di pojok belakang sebelah kanan-dalam masjid.  Saya dan Marom keluar dari masjid. Saya mengeluarkan tawa yang sempat saya tahan-tahan tadi. Saya tertawa selepas-lepasnya. “hahaha…. Marom..marom… gokil ente !” si Marom hanya nyengir dengan perasaan yang sangat lega akhirnya ia bisa shalat juga. “hehehe… untung aja bapak-bapak tadi nggak tau.. wkwkwk.” Maram cekikikan. Kami berdua melihat bus kami sudah mulai jalan. Kami lari tunggang-langgang menghampiri bus itu. Akhirnya kami masuk bus juga.
            Ketua kelas mengabsen kami satu-satu. Semua telah genap memasuki bus tanpa ada yang tertinggal satupun. Tibalah saatnya bagi kami untuk pulang. Bus melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Di dalam bus tanggung yang dingin itu kami saling membagi cerita. Berbagi kesan-kesan selama perjalanan wisata kelas dari awal perjalanan hingga pulang. Kami Saling bercanda menghidupkan suasana di dalam bus ber ac itu. Lagu pop dan rap yang diputar di dalam bus itu mengiringi canda tawa kami.
            Sepanjag perjalanan kami juga saling beradu bermain gombal-gombalan. Ternyata teman-teman saya mahir-mahir dalam hal gombal-menggombal. Baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Si Husna memulai menggombal: “Marom Marom, kamu tau nggak bedanya SPBU  sama kamu ?” si marom menggelengkan kepala. “nggak tau, emangnya apaan?” kepalanya digelayuti tanda tanya. Husna menjawab: “kalau SPBU itu ngisi tangki motor aku dengan bensin, tapi kalau kamu itu mengisi hati aku dengan cinta. Ahaha…” Semua orang tertawa-tawa lepas mendengar si husna menggombal seperti itu. Marom juga tertawa lebar mendengarnya. Suasana bus semakin gaduh dibuat Husna dan Marom.
Si Marom berfikir sejenak untuk membalas gombalan dari si Husna. Belum sempat mendapat ide, tiba-tiba si Nay bertanya kepada Marom:  “Marom Marom, aku boleh pinjem korek api kamu nggak ?“ pinta si Nay. si Marom mengernyitkan keningnya. “korek api ? korek api untuk apa Nay?” tanya Marom. “korek api untuk menyalakan cinta di hati kita. ahaha….” si Nay tertawa lebar. Seketika tawa teman-teman kembali meriuh di dalam bus.
Ajang gombal-gombalan seperti itu sepertinya menjadi tren anak-anak muda saat ini. Bermula dari adanya sebuah acara lawak di salah satu stasiun televisi yang di dalamnya ada satu tokoh pelawak yang gemar sekali menggombal ketika sedang melawak. Kepiawaiannya menggombal itu nampaknya mendapat respon yang positif dari khalayak ramai. Sehingga pada akhirnya banyak orang-orang yang meniru gaya pelawak tersebut dalam masalah gombal-menggombal. Bahkan, ada sebuah stasiun televise yang menyiarkan progam khusus yang di dalamnya berisi semacam ajang atau kompetisi untuk saling bergombal-gembel. Di dalam acara tersebut seorang yang paling bisa membuat rayuan-rayuan gombal dengan bagus akan dianggap sebagai pemenang oleh dewan juri. 
Teman-teman mulai kehabisan ide untuk meneruskaan permainan rayu-rayuan gombal tersebut. Mereka mulai membicarakan tentang siapakah orang yang memulai gombal-menggombal yang baru saja selesai mereka lakuakan itu. Ada-ada saja memang teman-teman saya. Komentar-komentar bermunculan, namun pada akhirnya mereka sepakat untuk menyematkan Andre Taulani sebagai orang yang pertama memulai gombal-menggombal. Ia adalah salah artis sekaligus pelawak yang gemar menggombal di salah satu acara lawak yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisI sehingga banyak orang yang menirukan gaya khasnya tersebut, termasuk juga beberapa selebritis tanah air yang juga banyak menirukannya.
Teman-teman juga mengomentari artis-artis yang hanya ikut-ikutan gayanya si Andre. Agaknya teman-teman kurang begitu berkenan dengan gaya para artis yang hanya bisa ikut-ikutan gayanya si Andre. Mereka memandang seorang selebritis itu sewajarnya menjadi contoh atau panutan, bukannya malah ikut-ikutan tren selebritis lain. Kalau mereka tidak bisa menciptakan tren di masyarakat ya sudah, tidak perlu mereka mengikut-ikuti tren selebritis lain. Masa jeruk minum jeruk? Begitulah pandangan sebagian dari mereka.
“Ah, nggak kreatif kata gue mah !”  Ujar salah seorang teman saya di dalam bus. Mereka juga sempat menyinggung beberapa nama selebritis yang gemar ikut-ikutan gayanya Andre Taulani seperti Jesica, Olga, Wendy, Narji dan Deny cagur serta beberapa artis lainnya. Akhir-akhir ini banyak acara lawakan-lawakan yang disiarkan televisi di Indonesia mulai populer. Dan sepertinya hampir semua pelawak di dalamnya sudah mulai akrab dengan istilah gombal-menggombal.  “emang ya, sekarang di Indonesia lagi musim lawak.” Ujar Rijal saat itu.
Bus mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Rasa letih mulai nampak tersirat di wajah teman-teman. Banyak dari mereka mulai tertidur di kursi. Salah seorang dari teman kami meminta pak sopir untuk mematikan musik yang sedang diputar. Maklum saja mereka letih, baru saja seharian mereka naik turun gunung, berbasah-basahan di air terjun, dan jalan-jalan mengitari kebun-kebun stroberi.
Di tengah-tengah perjalanan, Rijal membangunkan kami semua untuk mengingatkan kami bahwa kami telah sampai di tempat pusat penjualan oleh-oleh. Kami turun dari dari bus. Berberapa teman ada yang tidak turun. Sepertinya mereka masih merasa letih karena perjalanan yang telah ditempuh dengan berjalan kaki seharian cukup panjang. Mereka hanya menitip untuk dibelikan beberapa jajanan khas.  Saya dan teman-teman yang ikut turun dari bus langsung menyerbu toko-toko dan lapak-lapak yang menjual oleh-oleh khas di sepanjang jalan. Saya hanya membeli asinan dan beberapa buah alpukat untuk saya nikmati sendiri sesampainya di kosan. Teman-teman juga membeli oleh-oleh. Dari mereka ada yang membeli moci (oleh-oleh khas bogor), ada yang membeli asinan, ada yang membeli tape piyem, ada yang membeli buah manggis, buah salak dan lain-lain.
Yang saya heran dan membuat saya tertawa-tawa adalah ada salah seorang teman saya ada yang membeli pete. Entah mengapa ia membeli pete di sana. Bukankah di pasar-pasar tradisional dekat tempat ia tinggal juga banyak yang berjualan pete? Entahlah. Teman-teman juga sempat meledek-ledek dirinya karena membeli pete. Mereka menertawakannya. Ia hanya menjawab: “yee..biarin si ! orang gue demen ama pete. Apalagi jengkol ? beuh… mantabh, demen banget dah pokoknya gue. Itu makanan betawi tuh, mantabh! Tadi kalau ada jengkol gue beli juga dah! Hehe…” dengan cueknya dan dengan santainya ia mengabaikan ledekan teman-teman.
Beberapa teman perempuan masuk bis membawa tape piyem yang wadahnya berbentuk keranjang seperti keranjang ayam. “woy awas minggir nih, ada orang mau pulang kampung bawa ayam. Hahaha…. Tuuh keranjang tape piyemnya mirip keranjang ayam. Haha…” ledek si Kresna kepada teman-teman perempuan tadi. Suasana bus yang penuh dengan ledek-ledekan bercandaan.
Semua telah masuk ke dalam bus dengan membawa oleh-oleh masing-masing. Perasaan senang, lega, letih, lelah dan puas beraduk menjadi satu. Kini lengkaplah sudah perjalanan yang penuh suka cita itu. Bus kembali lagi melanjutkan perjalanan dengan kecepatan tinggi.
 Di tengah suasana teman-teman yang sedang memejamkan matanya namun belum pulas benar, Marom memecah keheningan memanggil-manggil nama saya, “Ipung Ipung, kamu orang Kudus ya?” tanya marom. Saya menyadari Marom hendak mengerjai saya, tapi saya sengaja membiarkan ia meneruskan guyonannya. “iya. Kok tau sih?” jawab saya. “karena wajah kamu itu unik mirip jenang Kudus. Ahahaha… “ si Marom tertawa lebar. Teman-teman di dalam bus yang tadinya memejamkan mata namun telinga masih mendengar seketika membuka kedua bola mata mereka dan ikut-ikutan tertawa lebar.Suasan di dalam bus gaduh dibuatnya.
Nampaknya mereka puas menertawakan saya dan menertawakan guyonan si Marom. Saya hanya tersenyum lebar melihat ekspresi si Marom yang terlihat senang karena guyonannya itu berhasil menghidupkan kembali suasana. Saya senang mempunyai teman seperti Marom dan teman seperti teman-teman sekelas saya di kelas. Selanjutnya, teman-teman sudah tidak bisa lagi mentolerir rasa lelah mereka. Mereka kembali memejamkan mata. Kali ini mereka benar-benar tertidur pulas. Saya juga ikut tertidur pulas.
 Adzan Isya masjid Fathullah (masjid Jami’ di depan kampus 1 UIN Jakarta) berkumandang, akhirnya bus sampai juga di halte baru kampus 1. Kami semua turun dengan semua barang-barang milik kami. “Teman-teman jangan lupa semua barang bawaan pastikan nggak ada yang tertinggal ya ! Ayo dicek dulu semuanya kali aja ada yang ketinggalan !” ujar Nurul Fikriyah kepada kami. Ia adalah orang yang paling terahir keluar dari bus diantara teman-teman saya yang lain. Sepertinya ia sangat teliti dalam memastikan barang-barang bawaan dari kami agar tidak ada yang tertinggal di dalam bus.
Sebelum semuanya berpisah, kami berkumpul terlebih dahulu. Malam itu, kami berdiri di pinggir jalan Ir. H. Juanda,  membentuk sebuah lingkaran. Rijal memimpin penutupan dan perpisahan itu dengan menyampaikan beberapa pesan, harapan dan doa untuk kami semua. Kami mengangkat tangan kami sembari meneriakkan yel-yel. Rijal mulai memberi komando: “jamaah…? “. Kami menjawab: “ iyeeeh..” rijal meneruskan:  “oooh jamaaaah….  Alhamdu??” kami menjawab:  “lillaaah.” Rijal meneruskan lagi:  “Semangat FDI !” kami serentak menyahut: “Yes Yes Yes!”


……………………………sekian………………………………..