Oleh: Ahmad Syaiful Huda, 20 januari 2012, Tangerang Selatan.
Setelah
ujian akhir semester tiga kemarin, saya bersama teman-teman sekelas saya di
Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Jakarta mengadakan tamasya ke curug (air
terjun) Cibeureum yang terletak di dalam
kawasan Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) Cibodas, tepatnya di desa
Sindang Laya, kecamatan Pacet, kabupaten Cianjur, Profinsi Jawa Barat.
Kami menyewa
sebuah bus tanggung ber AC untuk kami tumpangi sampai di sana. Dalam satu
kelas, tidak semuanya teman kami bisa ikut acara tamasya kelas itu. Ada beberapa teman
yang tidak bisa ikut karena mereka ada halangan. Ada juga yang tidak bisa ikut
karena ingin langsung pulang kampung
menikmati liburan semester bersama keluarga dan ada pula beberapa teman yang
enggan ikut setelah mempertimbangkan ongkos perjalanan yang menurutnya terlalu
mahal.
Dalam
satu bus tanggung berwarna biru itu kami berjumlah Sembilan belas orang
ditambah seorang supir dan seorang kernet, jadi masih ada beberapa kursi yang
kosong. Meskipun acara tamasya kelas kali ini tidak semua teman bisa ikut, tapi
kami bertekat untuk membuat acara itu tetap berkesan, dapat menumbuhkan rasa
kebersamaan dan tentunya akan lebih bisa mengharmoniskan hubungan diantara
kami.
Kami
berangkat dari halte baru UIN Jakarta pukul 07.35. Awalnya kami sempat merasa
khawatir dan gundah gulana ketika kami menunggu bus yang telat datang menjemput
kami. Bus yang telah kami pesan untuk menghampiri kami pukul 07.00 di depan
halte itu telat sekitar 25 menit. Pantas saja kami merasa khawatir dan gundah
gulana karena selama masa penantian itu kami telah berulang kali menghubungi
nomor hp supir bus itu namun tak juga ada jawaban. Saya perhatikan teman-teman
yang gelisah menghubungi nomer hp itu namun berkali-kali tak juga diangkat.
Sempatlah
saya beberpa kali menelepon dengan ponsel saya namun hasilnya sama, tidak ada
yang mengangkat. Salah seorang teman kami yang merasa bertanggung jawab atas
bagian akomodasi merasa bersalah atas peristiwa itu. Sudah semestinya bus yang
dipesannya datang tepat pada waktunya. “Aduuuh, ko busnya nggak dateng-dateng
siii ! Pakai nggak diangkat segala lagi ni
ditelfon ! Aduh temen-temen maafin Sita yaa.. Sita jadi ngerasa nggak enak ni
sama kalian semua udah pada nungguin. “ Terbaca raut wajahnya yang penuh cemas menanti bus pesanannya datang. Setelah
beberapa lama kami menunggu akhirnya bus datang juga. Kami merasa lega dan
langsung saja semua memasuki bus satu demi satu.
Bus siap
melaju. Oleh ketua kelas, kami diabsen terlebih dahulu sebelum berangkat. Masih
ada dua orang perempuan yang belum memasuki bus. Mereka masih di perjalanan
menjuju halte. Kami menunggu dua orang teman kami yang belum datang itu. Beberapa
jenak kemudian mereka datang dan bergabung bersama kami di dalam bus. Ketua
kelas memimpin doa sebelum berangkat. Perjalanan dimulai.
Setelah sekitar tiga jam perjalanan tanpa ada
macet kami pun sampai di Cibodas. Bus memasuki pintu masuk kawasan wisata Kebun
Raya Cibodas. Kami semua turun dari bus setelah bus terpakir di tempat parkir. Pintu
masuk menuju ke Curug Cibeureum terletak di sebelah utara sekitar 500 m dari
pintu masuk utama Kebun Raya Cibodas. Pintu masuk ini juga merupakan jalan
masuk menuju pendakian Gunung Gede – Pangrango. Curug Cibeureum berjarak
sekitar 2,6 km atau satu jam dengan berjalan kaki dari gerbang masuk taman
nasional.
Rombongan
kami berjalan mengikuti Rijal, salah satu teman kami yang telah berpengalaman
beberapa kali datang ke Curug Cibeureum di Cibodas itu. Ia berada di depan
memandu perjalanan kami. Saat itu sempat kami dibuat bingung oleh salah seorang
ibu-ibu yang berjualan tikar kecil yang mengarahkan kami untuk mengikuti jalan
yang ia tunjukkan. Tanpa kami meminta, ibu itu bersedia mengantarkan kami
menuju Curug Cibeureum. Baik sekali ibu itu. Baru beberapa langkah kaki mengiktuinya, kami dipanggil-panggil Rijal.
Ia yang tadinya berjalan cepat di depan kami nampaknya mulai sadar bahwa kami
tak lagi mengikutinya. Ia kembali menyusul kami yang telah berbelok arah
dan baru beberapa langkah mengikuti
langkah kaki ibu-ibu tadi.
Rijal
memberitahu kami bahwa ibu-ibu penjual tikar itu bersedia menunjukkan kami
jalan menuju curug karena profesinya selain berjualan tikar ia juga berprofesi
sebagai guide. Nantinya kami akan
dimintai biaya atas jasa yang telah ia berikan. Kami baru menyadarinya. Kami
juga merasa bersalah kepada si Rijal. Harusnya kami lebih percaya kepada teman
kami sendiri. Kami berhenti mengikuti ibu penjual tikar tadi. Kami berbalik
arah mengikuti langkah kaki Rijal.
Sepanjang
perjalanan menuju curug itu kami menemui beberapa tempat yang menarik, juga
beberapa tempat peristirahatan yang sengaja dibangun oleh pengelola. Selang
setengah jam kami berjalan dari pintu masuk kami menemui pos pertama. Di pos
pertama ini terdapat pusat informasi, tempat istiraht dan toilet.
Selanjtunya
kami melanjutkan perjalanan menuju pos yang kedua. Rombongan mulai terpisah.
Sebagian berada terdepan dan sebagian berada terbelakang. Saya dan empat orang
lainnya termasuk dalam kelompok yang tertinggal di belakang. Empat teman saya
yaitu: Agung, Dharma, Sita dan Diny. Saya dan Agung mendapat bagian membawa
bekal lauk-pauk sampai curug, sementara nasinya
dibawa oleh kelompok terdepan. Sampailah kami di pos kedua yang terletak
di dekat telaga biru atau juga disebut dengan Telaga Magis. Di sana kami
berlima beristirahat sejenak. Kami tidak mau
duduk-duduk di pos itu karena kami pikir tempatnya agak serem dan
kebersihannya kurang terjaga.
Sitta, Dharma
dan Diny menceburkan kaki mereka kedalam aliran sungai kecil yang dangkal dan
berada di sebelah kiri jalan. Mereka mencuci tangan dan membasuh wajah mereka
dengan air yang terasa sangat dingin seperti air es itu. Saya dan Agung enggan untuk mengikuti
apa yang mereka lakukan. Kami berdua memakai sepatu sedangkan mereka memakai
sandal. Saya dan Agung akan kerepotan kalau harus lepas-pakai sepatu. Sita
memberikan kamera digitalnya kepada Agung. Ia meminta tolong untuk difoto. Diny
juga ikut-ikutan memberikan ponsel kameranya kepada saya. “Ipung, Diny juga
minta difotoin yah.” Ujarnya. Darma, Sitta dan Diny berdiri berfose di bawah
papan informasi Telaga Biru.
Usai
berfoto-foto, Sita memberi saya dan Agung snack keripik kentang. Kami masih di
Telaga Magis untuk beristirahat sejenak. Saya membaca papan informasi Telaga
Magis yang ada di sana. Selain disebut sebagai Telaga Magis, telaga itu juga
disebut sebagai Telaga Biru.Telaga (dengan luas sekitar 0,25 ha) ini mempunyai
air yang berwarna biru kehijau-hijauan karena di dalam telaga ini terdapat
ganggang hidup sehingga membuatnya berwarna biru.
Kami
melanjutkan perjalanan. Setelah berjalan sekitar 2 km, kini perjalanan kami
melewati jembatan yang terbuat dari susunan potongan kayu yang rapi diatas rawa
Gayonggong. Gayonggong sendiri merupakan jenis rumput. Kami merasa aman
melewati jembatan itu meskipun ada beberapa kayu yang sudah bolong karena
rapuh. Lintasan jembatan kayu ini lumayan panjang jika sekedar untuk disebut
sebagai jembatan, sampai sedikit berkelok-kelok juga. Di jembatan kayu ini ada
tempat istirahat untuk sekedar melepas lelah atau mengabadikan pemandangan.
Jalur
jembatan kayu kembali berganti dengan lintasan bebatuan, dan tidak lama kemudian
kami sampai di pos yang ketiga yang terletak di sebelah persimpangan
(pertigaan) dan dinamakan Panyancangan Kuda. Di sana ada papan penunjuk arah,
dengan arah kiri menunjuk lokasi air panas, Kandang Badak dan Puncak Gede,
sedangkan arah kanan ke Curug Cibeureum dan Puncak Pangrango. Kami menuju ke arah
kanan. Jalan yang kami lalui agak menurun sedikit dan datar. Waktu tempuh
menuju curug sekitar lima belas menit lagi dari persimpangan tersebut. Berulang
kali kami harus menghentikan perjalanan untuk istirahat sebentar demi memenuhi
permintaan Diny dan Sitta yang hampir tidak kuat lagi meneruskan perjalanan.
Saya dan Agung membawa lauk-pauk yang terdiri dari
tiga kotak berukuran lumayan besar, maka dari itu kami membawanya berdua agar
terasa ringan. Kami berlima adalah kelompok terbelakang dari satu rombongan
kelas yang tiba di Curug Cibeureum terakhir. Di sana sudah ada berberapa teman
yang sedang bermain-main air. Sebagian yang lain sudah ada yang pakaiannya
basah kuyup dan menggigil kedinginan di pojok saung. “lho Ipung, kok kalian
baru pada nyampe di atas si? Ngapain aja tadi di bawah? Wajah kalian pada pucet
dah?“ tanya Tsalis. Ia menggigil kedinginan di pojok saung. Saya hanya
melemparinya dengan senyum paksa tanpa saya jawab pertanyaannya. “gimana nggak
pucet ? orang lagi capek bawa lauk-pauk segitu banyaknya dari bawah ampe atas
nggak ada yang gantiin coba ! “ gerutu saya dalam hati.
Sesampainya
di curug, saya ditawari sebatang rokok oleh salah satu teman saya. Saya menerimanya.
Saya meletakkan barang-barang di saung
yang ada di depan curug. Saya mencuci muka dengan air curug yang dinginnya
bukan main. Setelah itu baru saya merokok. Udara dingin pegunungan menyelimuti
tubuh saya dan teman-teman. Bilur-bilur air embun dari hempasan aliran air
terjun yang mengalir deras dari tebing batu setinggi antara 40-50 meter itu
menyembur kemana-mana karena terbawa angin. Dengan keadaan yang sangat dingin
seperti itulah yang mendorong saya untuk menerima tawaran sebatang rokok dari
teman saya. Beberapa teman perempuan yang melihat saya sedang merokok agak
kaget. Mereka mengingatkan saya agar tidak merokok. Mereka mengatakan bahwa
saya tidak “cocok” merokok.
Memasuki
waktu shalat Dzuhur, kami segera mengambil air wudlu di aliran air terjun. Kami
mencari tempat untuk bersujud. Kami berjalan menuju bebatuan besar yang ada di
sebelah kanan Curug Cibeureum. Kami memilih bebatuan besar kering yang tentunya
tidak licin untuk dipijak. Kami memutuskan untuk shalat di atas bebatuan besar
yang ada di sana. Sungguh eksotis nian, kami bersujud kepada sang Khalik di
atas bebatuan besar – di bawah curug yang menjulang tinggi hasil ciptaan-Nya
itu. Kami merasa benar-benar menyatu dengan alam semesta. Berpeluk-pelukan
dengan alam pegunungan yang berudarakan dingin menusuk-nusuk tulang. Kami semua
menghayati betapa maha agungnya Tuhan kami yang telah menciptakan alam semesta
yang agung ini dengan segala keindahannya. Semua teman-teman mentadaburi alam
hasil ciptaan sang Khaliq. Dialah sang pencipta jagat raya. Tidak satu pun
dapat menandingi-Nya. Dialah Allah, Tuhan yang maha sempurna dengan segala
sifat-Nya.
Seusai
shalat, kami berkumpul untuk duduk membentuk lingkaran. Kami membuka
perbekalan-perbekalan yang telah kami siapkan untuk makan siang satu rombongan.
Ada nasi, tempe, telor ayam dan sayur toge. Setelah berdoa bersama, kami
menyantap makan siang itu dengan lahapnya. Sungguh itu adalah kebersamaan yang
menghangatkan suasana. Sebuah kebersamaan yang tidak akan pernah kami peroleh
di dalam kelas, atau bahkan juga di kampus.
Makan
siang selesai. Shalat juga sudah kami laksanakan. Kini saatnya bermain-main air
di Curug Cibeureum. Teman-teman yang tadi sudah bermain-main air sampai basah
kuyup tidak berani lagi ikut-ikutan basah-basahan. Mereka telah menggigil
kedinginan. Sekarang giliran teman-teman yang tadi belum sempat bermain-main
air untuk bermain-main air dan berbasah-basahan di curug. Setelah dirasa cukup
bermain-main airnya kami pun berfoto-foto terlebih dahulu. Kami berfoto bersama
diatas gundukan batu besar yang ada di hadapan Curug Cibeureum. Di curug itu pemandangannya sangat
indah. Cocok untuk dijadikan background jika ingin berfoto-foto.
Curug
cibeureum sendiri terdiri dari air terjun utama Curug Cibeureum, dan dua air
tejun lain yang lebih kecil, Curug Cidendeng dan Curug Cikundul. Curug Cibeureum
adalah air terjun terbesar dan paling pendek di kawasan ini, letaknya yang lebih
terbuka dan dekat dengan perlindungan dan naungan sehingga orang-orang lebih
banyak mengerumuninya. Nama Cibeureum berasal dari bahasa Sunda yang berarti
sungai merah. Nama ini diambil dari nuansa merah dinding tebing yang terbentuk
dari lumut merah yang tumbuh secara endemik disana.
Di
sebelah kanan curug cibeureum tempat kami berfoto-foto adalah Curug Cidendeng,
ukurannya lebih lebih tinggi dan langsing. Airnya melintasi tebing batu-batu
trap dan jatuh menimpa lereng tebing yang berlumut. di curug cidendeng ini pula
saya sempat dua kali jatuh terpeleset karena bebatuan yang ada di bawahnya
sangat licin bukan main. Saat itu saya terjatuh hingga gelang jam tangan yang
saya pakai terputus. Saya memutuskan untuk meninggalkan Curug Cidendeng karena
berbahaya bagi keselamatasn saya. Saya kembali lagi ke Curug Cibeureum di
sebelah kiri sana yang jauh lebih aman dan indah. Sedangkan curug yang paling
kanan adalah Curug Cikundul. Letaknya
sangat tinggi dan agak tersembunyi di lubang / lekukan dua tebing.
Ketika
kami sedang berfoto-foto kami melihat ada dua orang bule baru saja tiba di
curug. Mereka memandang-mandangi air terjun yang ada di belakang kami. Mereka
semakin mendekat dengan kami. Kebetulan saat itu kami sedang foto bareng, jadi
kami ajak mereka untuk ikut foto bersama kami. Lumayan untuk kenang-kenangan
foto bersama dengan bule, pikir kami.
Sebelumnya
kami masih belum tau darimanakah asal kedua bule tersebut. Yang satu wajahnya
agak ketimur-timuran dan yang satu lagi wajahnya agak kebarat-baratan. Kami
tidak banyak bicara dengan mereka. Setelah kami perhatikan, ternyata mereka
ngobrol dengan menggunakan bahasa arab. Kami pun segera menghampiri mereka. Kami
berkenalan dengan mereka lebih jauh. Yang satu namanya fawaz, dia mengatakan
bahwa dia sudah punya dua orang anak. Yang satunya lagi namanya Mubarak. Dia
masih perjaka, masih lajang. Mereka berdua berasal dari Arab Saudi.
Mereka
berdua datang ke Indonesia sejak sepuluh hari yang lalu dengan tujuan untuk siyahah
/ tamasya. Fawaz merasa terpesona dengan alam Indonesia. Dia bilang
bahwasannya di arab Saudi tidak ada gunung-gunung seperti itu. Ada gunung, tapi
tidak berpohon lebat seperti itu. Disana banyak gurun dan padang pasir. Mereka mengatakan
bahwa tempat tinggal mereka di Arab Saudi sana dekat dengan kota Makkah. Dari
rumahnya perjalanan menuju makkah bisa ditempuh dengan mobil hanya dengan dua
jam perjalanan.
Mereka
datang ke Cibodas dari Jakarta. Ketika kami tanya bagaimana suhu udara di Curug
Cibereum mereka mengatakan bahwa disini dingin, akan tetapi lebih dingin ketika
musim dingin di Arab Saudi. Katanya bisa sampai dibawah 5 derajat Celcius. Sama-sama
dingin, tapi tetap masih lebih dingin di Arab Saudi ketika musim dingin. Bedanya
adalah kalau di curug itu dinginnya dingin basah, tetapi kalau di Arab Saudi
dinginnya dingin kering. Sedangkan di sana jika musim panas maka cuaca akan
sangat panas sekali, karena suhu bisa mencapai
45 derajat Celsius. Selesai ngobrol-ngobrol kami pun berpisah. Mereka
turun dari curug lebih dahulu. Mereka mengatakan hendak mencari sarapan siang
di bawah sana. Senggang beberapa jenak dua orang Arab itu turun, kami pun ikut
turun. Kami juga hendak melanjutkan perjalanan wisata.
Lagi-lagi
pada saat menuruni curug kembali berjalan sepanjang 2,6 km rombongan kami
terpecah menjadi dua. Dan lagi-lagi kami berada di kelompok yang tertinggal
jauh di belakang. Saya bersama Tsany, Eva, Dharma, Sitta, Diny dan Haikal. Kami
terus berjalan. Eva dan Tsany mempercepat langkah kaki meninggalkan kami. Mereka
sudah tak terlihat lagi.
Saat
sedang berada di perjalanan antara pos kedua dan pos ketiga dalam menuruni
curug, saya, Haikal, Diny, Sitta dan Dharma menjumpai tiga ekor primata, namun kami
tidak tahu persis jenis apakah primata itu. Kami menyebut satwa itu dengan
sebutan monyet. Seekor monyet diantara mereka hendak menghampiri kami sehingga
kami mempercepat langkah kaki. Kami takut akan disereang monyet itu karena kami
tahu itu adalah monyet liar yang siap menyerang kami kapan saja. Tatapannya
buas dan siap menerjang musuh yang berani mengganggunya. Barangkali mereka kira
kami telah mengganggu mereka. Di sisi lain, kami merasa bahwa kami adalah
orang-orang yang paling beruntung diantara teman-teman. Ternyata ada hikmahnya
juga ya kami tertinggal di belakang dari rombongan yang ada. Ternyata hanya
kami yang kebetulan dapat melihat langsung tiga ekor primata kawasan taman
nasional langsung dari habitat aslinya.
Saya
memutuskan untuk mempercepat langkah kaki. Saya semakin meninggalkan teman-teman
yang masih berada di belakang saya. Akhirnya saya bisa menyusul kawan-kawan
yang telah berada cukup jauh di depan
sana. Tak disangka ternyata rombongan teman-teman yang saya jumpai di depan
telah bersama dua orang bule tadi. Sepertinya mereka telah terlihat akrab. Tidak
disangka ketemu mereka lagi. Dua orang bule itu ternyata ikut berbaur dengan
kami di sepanjang perjalanan menuruni gunung dan membelah hutan. Kali ini lebih
akrab. Ada Rijal yang berbincang-bincang dengan Fawaz dan ada Nana juga yang
asyik berbincang-bincang dengan Mubarak.
Kendati nana
dan Rijal kurang tahu arti kata perkata yang keluar dari mulut kedua orang arab
itu, namun nampaknya si Nana dan si Rijal bisa memahami apa yang mereka
katakan. Demikian juga dengan kedua orang arab tersebut, kendati terlihat agak
bingung dengan Bahasa Arab Rosmiyah (resmi, formal) yang kami gunakan, namun demikian
mereka tetap bisa memahami maksud kata-kata kami. Maklum saja, mereka adalah
orang arab yang kesehariannya berbicara satu sama lain dengan menggunakan
Bahasa Arab Ammiyah (umum, pasaran). Dan cukup aneh memang, mereka kurang bisa
menggunakan Bahasa Arab Rosmiyah mereka sendiri. Orang Arab tapi tidak bisa berbahasa Arab (yang
formal). Kami rasa mereka merasa senang. Di Indonesia, Negara yang jauh dari Arab Saudi,
mereka bisa bertemu dengan orang-orang yang bisa berbicara dengan bahasa Arab
mereka.
Saya
ikutan menyelinap pada rombongan teman-teman yang telah bersama dengan dua
orang Arab itu. Saya harus aktif mengajak bicara dua orang Arab tersebut
layaknya yang dilakukan teman-teman. Saya juga ingin melatih atau lebih bisa
disebut menjajal kemampuan berbahasa Arab
saya. Ini adalah kesempatan yang langka. Meskipun di kelas kami ada satu dosen
yang didatangkan langsung dari universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, untuk
mengajar kami, namun dosen tersebut berbicara dengan bahasa formal atau bahasa
rosmiyah. Nah, untuk kesempatan kali ini, dari sini saya bisa mengetahui langsung bagaimana orang arab umum itu berbicara
dengan menggunakan bahasa Ammiyah. Saya menghampiri si Mubarak. Saya cukup
tertarik dengan tingkahnya. Tingkah lakunya mencerminkan jiwanya yang masih
muda perjaka. Ia terlihat seperti remaja pada umumnya. Ia lincah. Ia periang, dan
ia mudah bergaul dengan remaja lain seperti kami.
Saya
mengajak Mubarak mengobrol sepanjang perjalanan menuruni gunung dan membelah
hutan. Mubarak dan Fawaz hendak turun untuk sarapan siang. Di atas tidak ada
seorang pun yang menjual makanan. Saya bertanya
seputar makanan apa yang paling ia sukai selama di Indonesia. Ia menjawab bahwa
selama di Indonesia ia belum melakukan wisata kuliner. Ia belum tau banyak
masakan-masakan khas Indonesia. Ia minta direkomendasikan masakan khas
Indonesia yang bisa ia nikmati. Saya merekomendasikan Mubarak untuk mencoba nasi goreng, karena saya pikir di
bawah sana nasi goreng akan mudah dijumapai di warung-warung atau
restoran-restoran sederhana.
Saya
mengajarinya mengucapkan kata nasi goreng, namun agaknya ia kesulitan untuk
menirukan dan mengingatnya. Akhirnya ia meminta kertas dan pena untuk menulis
kalimat nasi goreng. Saya memang membawa pena, tetapi untuk kertasnya saya
tidak membawa. Mubarak kepalanya celingak-celinguk mengarah kepada teman-teman
perempuan yang sedari tadi mengikuti kami (saya dan Mubarak) di belakang. Mereka sedari tadi mendengarkan percakapan
kami. Kendati mereka hanya berbicara bila ditanyai orang arab itu, namun mereka
memahami apa yang kami bicarakan. Mubarak
meminta kertas dan meminjam pena untuk menuliskan kata “nasi goring”
kepada teman-teman perempuan. Mereka juga tidak satupun yang membawa kertas dan
pena.
Saya
baru sadar, kenapa tidak ditulis di ponsel saja ya? Ahirnya saya meminta
ponselnya Mubarak. Mubarak memanggil Fawaz yang ada di depannya dan sedang
mengobrol juga dengan Rijal. Ia meminta ponselnya yang sedang dititipkan kepada
Fawaz. Ia mengambil ponsel dari Fawaz dan menyerahkan kepada saya. Saya
tuliskan kata nasi goreng di ponsel tersebut. Saya agak kesulitan menuliskan kata
nasi goreng di ponsel itu. Keypadnya menggunakan huruf arab sedangkan saya
menulis sembari berjalan menuruni bukit. Saya tidak mau tertinggal dari kawan-kawan.
Setelah
selesai saya tuliskan kata nasi goreng, ponsel tersebut saya kembalikan kepada
Mubarak. Ia membaca tulisan yang saya ketik di ponsel. Ia berusaha mengucapkan
lagi dan lagi, akhirnya ia sudah bisa fasih mengucapkan kata nasi goreng. Ia
penasaran dengan nasi goreng. “terbuat dari apakah nasi goreng itu? apakah di
dalamnya ada ayamnya juga ?” tanya Mubarak penuh penasaran (menggunakan Bahasa
Arab Ammiyah). Saya belum sempat menjawab tiba-tiba si Nana mendekat. Ia
menyahuti Mubarak: “nasi goreng itu salah satu makanan khas Indonesia yang
terbuat dari nasi yang digoreng dengan racikan bumbu khas. Biasanya memasaknya
itu dikasih telor atau daging ayam.”
Sepanjang perjalanan Saya dan teman-teman
saling bergantian ngobrol dengan kedua orang arab itu. Langkah demi langkah dan
setapak demi setapak kaki kami menuruni gunung dan menembus belantara, akhirnya
kami sampai juga di bawah. Di pos masuk kawasan taman nasional itu kami berpisah
dengan kedua orang arab. Kami saling bersalaman. Saya dan teman-teman menunggu
beberapa teman yang masih tertinggal di belakang. Kedua orang arab melanjutkan
perjalanan. Mereka mengucapkan terimakasih. Kami juga mengucapkan terimakasih.
“ma’assalaamah, ilal liqoo’ ya ikhwan..” ujar fawaz dan Mubarak kepada kami.
Kini
saatnya untuk kami melanjutkan perjalanan. Hujan mulai mengguyur kami. Kami
berteduh di pos pintu masuk kawasan Taman Nasional. Semua teman telah berkumpul
di sana. Kami sempat kawatir hujan akan lama turun karena jika demikian maka
kami tidak bisa melanjutkan perjalanan wisata kami. Setelah menunggu seperempat
jam Alhamdulillah ternyata hujan mulai reda, meskipun rintik gerimis masih
menyelimuti perjalani kami, namun kami masih
bisa melanjutkan perjalanan. Kami masih harus berjalan untuk sampai di
tempat parkir bus.
Sampailah
semua di tempat parkir bus. Kawan-kawan semua telah berkumpul di sana. Para pedagang
cendera mata menawar-nawarkan dagangannya kepada kami. Ada beberapa teman yang
membeli gantungan kunci, ada yang membeli gelang dan ada yang hanya membeli
makanan ringan hanya sekedar untuk camilan selama dalam perjalanan selanjutnya.
Saat
kami sedang di dalam bus dan bersiap-siap melanjutkan perjalanan, Bung Ulin Nuha,
ketua kelas kami, ponselnya berdenting-denting. Setelah diangkat ternyata itu
adalah telfon dari Iqbal dan Azzam, dua kawan kami yang berhenti kuliah di
jurusan kami. Mereka keluar dari jurusan kami sekitar sebulan yang lalu untuk
melanjutkan study mereka di Madinah, Arab Saudi. Saat ini mereka sedang menanti
pemberitahuan hari H pemberangkatan ke Arab Saudi dari pihak Universitas. Melalui
ponsel Bung Ulin Nuha, teman-teman saling bergantian ngobrol dengan Azzam dan Iqbal.
Teman-teman merindukan mereka berdua. Dari perbincangan lewat pesawat telefon
tersebut terbaca suasana yang haru. Kami saling meminta maaf, memberi motifasi
dan juga tidak lupa saling doa-mendoakan untuk kebaikan kami semua.
Semuanya
telah duduk rapi di dalam bus tanggung ber ac itu. Tujuan selanjutnya adalah
kebun stroberi. Kesanalah kami melanjutkan perjalanan wisata. Menikmati
perkebunan stroberi yang hijau di sepanjang lembah. Memetik buah stroberi
langsung dari pohonnya. Bus melaju menuruni bukit dengan pelan. Memasuki jalan
desa yang telah diaspal namun sangat sempit untuk dilewati bus tanggung kami.
Setelah seperempat jam perjalanan akhirnya kami sampai di kebun stroberi. Tiba
disana rintik gerimis masih menyertai
kami. Kami semua turun dari bus dan segera berteduh di pesanggrahan kebun stroberi.
Kami saling tanya-menanya satu sama lain. Akankah kami melanjutkan memetik stroberi
dengan keadaan gerimis sedangkan
diantara kami hanya ada empat orang yang membawa payung? Beberapa teman sangat
menyayangkan bila kami sudah sampai di kebun stroberi tidak memetik buah stroberi
langsung dari pohonnya hanya gara-gara rintik gerimis seperti itu.
Setelah mempertimbangkan
baik-baik akhirnya kami memutuskan untuk mengabaikan gerimis kecil itu dan
lebih memperdulikan perjalanan yang telah kami tempuh. Kami semua terjun ke
perkebuanan stroberi dengan bergerimis-gerimis ria. Kami mengambil keranjang
dan gunting yang telah disediakan di bagian kasir di saung sana. Dengan
bermodalkan empat buah payung kami turun ke kebun stroberi.
Pemandangan
yang sangat menakjubkan. Kebun stroberi yang hijau menyegarakan pandangan
menghampar di sepanjang lembah. Lembah-lembah yang disepuh dengan warna hijau
alam. Rintik gerimis menjadi teman akrab kami. Sejauh mata menghamburkan
pandangan yang ada hanya lembah-lembah stroberi yang sangat mengesankan. Pelangi
di seberang lembah membuat sore itu terasa semakin semarak. Canda-tawa
teman-teman seolah menjadi alunan suara musik yang kian meriangkan suasana. Udara
di sepanjang lembah yang membentang itu terasa dingin-dingin sejuk, sejuk-sejuk
dingin. Maklum saja, udara pegunungan memang demikian.
Bebuahan
stroberi yang merah ranum sedari tadi melambai-lambai kepada kami. Mereka
berteriak-teriak kepada kami untuk segera dipetik dari pohonnya. Dikarenakan
kami hanya membawa empat buah payung, maka kami menggunakan payung itu dengan
berpasang-pasang untuk turun ke kebun stroberi. Satu payung dua orang. Saya
berdua dengan Husna. Saya yang memetik buah dan husna yang memayungi serta
mengikuti saya kesana-kemari memilih-milih buah stroberi yang telah ranum di
pohonnya.
Husna
bergantian pasangan dengan yang lain. Ia berbagi payung dengan teman yang lain.
Saya sendiri tidak berpayung lagi. Sebenarnya pula tidak masalah bagi saya.
Saya senang ditemani dengan rintik gerimis. Sebagian teman-teman yang lain pun
demikian. Mereka sangat menikmati sore yang indah itu. Mereka tetap saja
bersuka-cita memetik buah stroberi langsung dari pohonnya tanpa payung. Gerimis
bukanlah masalah. Saya berjalan kesana-kemari mengitari lembah stroberi.
Saya
berpapasan dengan Eva, salah satu teman kami yang membawa sebuah payung. Ia
sendirian dan hanya menikmati indahnya suasana dan pemandangan. Ia menikmati
hangatnya kebersamaan diantara kami yang mampu mengalahkan dinginnya udara
pegunungan saat itu. Ia tidak ikut memetik buah stroberi. “hay Eva, ente nggak
ikut metik buah ya? Sini ikutin ane aja yuk , sambil payungin ya ! hehe… “ ajak
saya. Kami berdua pun menyusuri lembah-lembah stroberi sepayung berdua. Eva
yang memayungi dan saya yang membawa keranjang dan gunting. Eva
menunjuk-nunjukkan bebuahan stroberi yang sudah masak dan merah ranum lalu saya
menghampiri dan memetiknya.
Begitu
juga dengan teman-teman lain yang mendapat payung, mereka saling
payung-memayungi yang tidak berpayung. Sungguh kebersamaan yang tidak
terlupakan. Keadaan yang seperti itu yang tidak bisa kami temukan di kelas. Ketika
di kelas seolah hubungan yang ada diantara kami itu dikekang oleh formalitas. Kami
bersikap saling tertutup. Kami saling menjaga jarak antara yang satu dengan
yang lain. Kami hanya bicara seperlunya. Yang ada hanya kejumudan. Apalagi
kalau ada mata kuliah yang menurut kami dosen dari mata kuliah tersebut sangat
killer. Tentunya kami merasa seolah sangat jenuh di kelas. Kami butuh menghibur
diri. Kami butuh refresing. Dengan adanya tamasya kelas seperti ini setidaknya
akan terjalin hubungan yang harmonis diantara kami. Agar kami tidak lagi
bersikap saling tertutup. Agar kami tidak lagi dibuat jenuh dan suntup
memikirkan mata kuliah yang kami anggap sulit dan dosennya kami anggap sangat
killer.
Kami
selesai memetik buah stroberi. Keranjang-keranjang yang tadi kosong kini telah
terisi buah-buah stroberi yang merah ranum dan menggiurkan. Kami membawa
keranjang-keranjang itu ke tempat kasir untuk ditimbang berapa banyak buah yang
telah kami petik. Satu persatu teman-teman merogoh kocek untuk membayar
buah-buah tersebut. Satu ons buah stroberi kami bayar dengan harga lima ribu
rupiah. Saat menyerahkan keranjang untuk ditimbang buahnya, Marom, salah satu
teman kami, oleh kasir ia diminta untuk mengambil beberapa buah lagi karena
buah-buah stroberi yang ada di keranjangnya itu belum mencapai satu ons.
Lucu
memang, di tengah-tengah kebun stroberi yang menghampar luas di sepanjang
lembah itu ia hanya mampu memetik beberapa buah stroberi, tidak sampai satu
ons. Saya hanya tertawa maklum kepadanya. Saya perhatikan sedari tadi ia
terlihat sangat riang dan girang. ia memang ikut memetik buah stroberi, namun
ia lebih banyak bercanda-canda diantara kami. Dialah pembuat semarak suasana
dengan guyonan-guyonan lucunya. Dan saya juga perhatikan sedari tadi nampaknya
ia lebih menikmati suasana yang ada, hangatnya kebersamaan di tengah kebun
sroberi yang membentang luas di sepanjang lembah berudarakan dingin-dingin
sejuk. Ia juga terpukau dengan pemandangan yang ada hingga ia tidak terlalu
sadar bahwa buah-buah stroberi yang dipetiknya itu baru sedikit.
Buah-buah stroberi yang telah dipetik tadi
kini siap menjadi oleh-oleh yang akan kami bawa pulang. Ada beberapa teman yang
saling cicip-mencicipi buah yang telah dipetik. Begitu juga dengan saya. Saya
membagi-bagikan buah yang telah saya petik. Saya tidak membawa pulang satu buah
pun dari stroberi yang telah saya petik.
Saatnya bagi
kami untuk shalat Ashar. Beberapa teman ada yang sudah shalat Ashar dengan cara dijama’ taqdim dengan
shalat Dluhur ketika masih di air terjun tadi siang. Beberapa dari teman saya
lagi sudah selesai mendirikan shalat di masjid desa yang ada di dekat kebun
stroberi itu. Saya dan Marom menyusul ke masjid. Kami berdua adalah orang yang
terakhir shalat diantara yang lain. Teman-teman menunggu kami di bus yang siap
jalan.
Ketika
di berada di masjid, Marom bertanya kepada saya : “Ipung, ente bawa sarung
nggak? ane pinjem ya. Ane nggak yakin celana yang ane pakai ini suci.” “aduh
ane nggak bawa sarung tu rom. Terus ente shalatnya gimana ni?” saya terdiam
sejenak tersadar bahwa kami berdua telah ditunggu teman-teman yang lain di
dalam bus. Dalam kondisi terpojok seperti itu saya mendapat ide. “gini aja rom,
mumpung di dalam masjid ini lagi sepi ente pakai aja mukena perempuan bagian
bawah sebagai pengganti sarung. Kita terpaksa rom, temen-temen juga udah pada
nunggu di sana. Gimana?” tawar saya. Marom kepalanya celingak-celinguk
mengamat-amati keadaan di sekitar masjid dan di dalam masjid. Keadaannya sunyi
sepi. “okk baiklah, nggak ada pilihan lain.”
Saya
telah menyelesaikan shalat ashar.maram baru rekaat pertama. Saya kesulitan
menyembunyikan tawa melihat marom shalat dengan pakaian seperti itu.meskipun
jika dilihat sekilas kainitu nampak seperti sarung yang berwarnakan putih pada
umumnya, namun saya tahu itu adalah mukena bagian bawah yang diambil marom dari
rak mukena yang ada dipojok belakang sebelah kanan - dalam masjid.
Saya
benar-benar kesulitan menyembunyikan tawa yang sedari tadi saya tahan-tahan.
Pada rekaat terakhir Marom shalat Ashar, tiba-tiba ada seorang bapak-bapak tua
yang memasuki masjid. Ia juga hendak melaksanakan shalat seperti kami.
Syukurnya ia tidak memperhatikan keadaan sekitar. Ia langsung menuju barisan
terdepan di sudut kiri masjid sehingga ia tidak tahu apa yang kami lakukan
karena kami berada di sisi kanan – dalam masjid. Nampaknya shalatnya terlihat
begitu khusyu’. Marom tahu ada seorang bapak-bapak tua yang memasuki masjid. Marom
semakin mempercepat ritme shalatnya. Menyelesaikan sisa rekaat terakhirnya
dengan agak tergesa-gesa.
Setelah salam ia berjalan mengendap-endap
layaknya seorang pemburu yang baru saja mengokang senapan dan bersiap membidik
buruannya. Ia berjalan pelan sekiranya suara langkah kakinya tidak terdengar oleh
bapak tua yang ada di sebelah kiri barisan terdepan-dalam masjid itu. Marom
menuju rak mukena yang ada di pojok belakang sebelah kanan-dalam masjid. Saya dan Marom keluar dari masjid. Saya
mengeluarkan tawa yang sempat saya tahan-tahan tadi. Saya tertawa
selepas-lepasnya. “hahaha…. Marom..marom… gokil ente !” si Marom hanya nyengir
dengan perasaan yang sangat lega akhirnya ia bisa shalat juga. “hehehe… untung
aja bapak-bapak tadi nggak tau.. wkwkwk.” Maram cekikikan. Kami berdua melihat
bus kami sudah mulai jalan. Kami lari tunggang-langgang menghampiri bus itu. Akhirnya
kami masuk bus juga.
Ketua
kelas mengabsen kami satu-satu. Semua telah genap memasuki bus tanpa ada yang
tertinggal satupun. Tibalah saatnya bagi kami untuk pulang. Bus melaju dengan
kecepatan cukup tinggi. Di dalam bus tanggung yang dingin itu kami saling
membagi cerita. Berbagi kesan-kesan selama perjalanan wisata kelas dari awal
perjalanan hingga pulang. Kami Saling bercanda menghidupkan suasana di dalam
bus ber ac itu. Lagu pop dan rap yang diputar di dalam bus itu mengiringi canda
tawa kami.
Sepanjag
perjalanan kami juga saling beradu bermain gombal-gombalan. Ternyata
teman-teman saya mahir-mahir dalam hal gombal-menggombal. Baik yang
laki-laki maupun yang perempuan. Si Husna memulai menggombal: “Marom Marom, kamu
tau nggak bedanya SPBU sama kamu ?” si
marom menggelengkan kepala. “nggak tau, emangnya apaan?” kepalanya digelayuti
tanda tanya. Husna menjawab: “kalau SPBU itu ngisi tangki motor aku dengan
bensin, tapi kalau kamu itu mengisi hati aku dengan cinta. Ahaha…” Semua orang
tertawa-tawa lepas mendengar si husna menggombal seperti itu. Marom juga
tertawa lebar mendengarnya. Suasana bus semakin gaduh dibuat Husna dan Marom.
Si Marom
berfikir sejenak untuk membalas gombalan dari si Husna. Belum sempat mendapat
ide, tiba-tiba si Nay bertanya kepada Marom:
“Marom Marom, aku boleh pinjem korek api kamu nggak ?“ pinta si Nay. si
Marom mengernyitkan keningnya. “korek api ? korek api untuk apa Nay?” tanya Marom.
“korek api untuk menyalakan cinta di hati kita. ahaha….” si Nay tertawa lebar.
Seketika tawa teman-teman kembali meriuh di dalam bus.
Ajang gombal-gombalan
seperti itu sepertinya menjadi tren anak-anak muda saat ini. Bermula dari
adanya sebuah acara lawak di salah satu stasiun televisi yang di dalamnya ada
satu tokoh pelawak yang gemar sekali menggombal ketika sedang melawak. Kepiawaiannya
menggombal itu nampaknya mendapat respon yang positif dari khalayak ramai.
Sehingga pada akhirnya banyak orang-orang yang meniru gaya pelawak tersebut dalam
masalah gombal-menggombal. Bahkan, ada sebuah stasiun televise yang
menyiarkan progam khusus yang di dalamnya berisi semacam ajang atau kompetisi
untuk saling bergombal-gembel. Di dalam acara tersebut seorang yang
paling bisa membuat rayuan-rayuan gombal dengan bagus akan dianggap sebagai
pemenang oleh dewan juri.
Teman-teman
mulai kehabisan ide untuk meneruskaan permainan rayu-rayuan gombal tersebut.
Mereka mulai membicarakan tentang siapakah orang yang memulai gombal-menggombal
yang baru saja selesai mereka lakuakan itu. Ada-ada saja memang teman-teman
saya. Komentar-komentar bermunculan, namun pada akhirnya mereka sepakat untuk menyematkan
Andre Taulani sebagai orang yang pertama memulai gombal-menggombal. Ia
adalah salah artis sekaligus pelawak yang gemar menggombal di salah satu acara
lawak yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisI sehingga banyak orang
yang menirukan gaya khasnya tersebut, termasuk juga beberapa selebritis tanah
air yang juga banyak menirukannya.
Teman-teman
juga mengomentari artis-artis yang hanya ikut-ikutan gayanya si Andre. Agaknya
teman-teman kurang begitu berkenan dengan gaya para artis yang hanya bisa
ikut-ikutan gayanya si Andre. Mereka memandang seorang selebritis itu
sewajarnya menjadi contoh atau panutan, bukannya malah ikut-ikutan tren
selebritis lain. Kalau mereka tidak bisa menciptakan tren di masyarakat ya
sudah, tidak perlu mereka mengikut-ikuti tren selebritis lain. Masa jeruk minum
jeruk? Begitulah pandangan sebagian dari mereka.
“Ah,
nggak kreatif kata gue mah !” Ujar salah
seorang teman saya di dalam bus. Mereka juga sempat menyinggung beberapa nama
selebritis yang gemar ikut-ikutan gayanya Andre Taulani seperti Jesica, Olga,
Wendy, Narji dan Deny cagur serta beberapa artis lainnya. Akhir-akhir ini banyak
acara lawakan-lawakan yang disiarkan televisi di Indonesia mulai populer. Dan
sepertinya hampir semua pelawak di dalamnya sudah mulai akrab dengan istilah gombal-menggombal. “emang ya, sekarang di Indonesia lagi musim
lawak.” Ujar Rijal saat itu.
Bus mulai
melaju dengan kecepatan tinggi. Rasa letih mulai nampak tersirat di wajah
teman-teman. Banyak dari mereka mulai tertidur di kursi. Salah seorang dari
teman kami meminta pak sopir untuk mematikan musik yang sedang diputar. Maklum
saja mereka letih, baru saja seharian mereka naik turun gunung,
berbasah-basahan di air terjun, dan jalan-jalan mengitari kebun-kebun stroberi.
Di
tengah-tengah perjalanan, Rijal membangunkan kami semua untuk mengingatkan kami
bahwa kami telah sampai di tempat pusat penjualan oleh-oleh. Kami turun dari
dari bus. Berberapa teman ada yang tidak turun. Sepertinya mereka masih merasa
letih karena perjalanan yang telah ditempuh dengan berjalan kaki seharian cukup
panjang. Mereka hanya menitip untuk dibelikan beberapa jajanan khas. Saya dan teman-teman yang ikut turun dari bus
langsung menyerbu toko-toko dan lapak-lapak yang menjual oleh-oleh khas di
sepanjang jalan. Saya hanya membeli asinan dan beberapa buah alpukat untuk saya
nikmati sendiri sesampainya di kosan. Teman-teman juga membeli oleh-oleh. Dari
mereka ada yang membeli moci (oleh-oleh khas bogor), ada yang membeli asinan,
ada yang membeli tape piyem, ada yang membeli buah manggis, buah salak dan
lain-lain.
Yang
saya heran dan membuat saya tertawa-tawa adalah ada salah seorang teman saya ada
yang membeli pete. Entah mengapa ia membeli pete di sana. Bukankah di
pasar-pasar tradisional dekat tempat ia tinggal juga banyak yang berjualan
pete? Entahlah. Teman-teman juga sempat meledek-ledek dirinya karena membeli
pete. Mereka menertawakannya. Ia hanya menjawab: “yee..biarin si ! orang gue
demen ama pete. Apalagi jengkol ? beuh… mantabh, demen banget dah pokoknya gue.
Itu makanan betawi tuh, mantabh! Tadi kalau ada jengkol gue beli juga dah!
Hehe…” dengan cueknya dan dengan santainya ia mengabaikan ledekan teman-teman.
Beberapa
teman perempuan masuk bis membawa tape piyem yang wadahnya berbentuk keranjang
seperti keranjang ayam. “woy awas minggir nih, ada orang mau pulang kampung
bawa ayam. Hahaha…. Tuuh keranjang tape piyemnya mirip keranjang ayam. Haha…”
ledek si Kresna kepada teman-teman perempuan tadi. Suasana bus yang penuh
dengan ledek-ledekan bercandaan.
Semua
telah masuk ke dalam bus dengan membawa oleh-oleh masing-masing. Perasaan
senang, lega, letih, lelah dan puas beraduk menjadi satu. Kini lengkaplah sudah
perjalanan yang penuh suka cita itu. Bus kembali lagi melanjutkan perjalanan
dengan kecepatan tinggi.
Di tengah suasana teman-teman yang sedang
memejamkan matanya namun belum pulas benar, Marom memecah keheningan
memanggil-manggil nama saya, “Ipung Ipung, kamu orang Kudus ya?” tanya marom. Saya
menyadari Marom hendak mengerjai saya, tapi saya sengaja membiarkan ia meneruskan
guyonannya. “iya. Kok tau sih?” jawab saya. “karena wajah kamu itu unik mirip
jenang Kudus. Ahahaha… “ si Marom tertawa lebar. Teman-teman di dalam bus yang
tadinya memejamkan mata namun telinga masih mendengar seketika membuka kedua
bola mata mereka dan ikut-ikutan tertawa lebar.Suasan di dalam bus gaduh
dibuatnya.
Nampaknya
mereka puas menertawakan saya dan menertawakan guyonan si Marom. Saya hanya
tersenyum lebar melihat ekspresi si Marom yang terlihat senang karena
guyonannya itu berhasil menghidupkan kembali suasana. Saya senang mempunyai
teman seperti Marom dan teman seperti teman-teman sekelas saya di kelas. Selanjutnya,
teman-teman sudah tidak bisa lagi mentolerir rasa lelah mereka. Mereka kembali
memejamkan mata. Kali ini mereka benar-benar tertidur pulas. Saya juga ikut
tertidur pulas.
Adzan Isya masjid Fathullah (masjid Jami’ di depan
kampus 1 UIN Jakarta) berkumandang, akhirnya bus sampai juga di halte baru
kampus 1. Kami semua turun dengan semua barang-barang milik kami. “Teman-teman
jangan lupa semua barang bawaan pastikan nggak ada yang tertinggal ya ! Ayo
dicek dulu semuanya kali aja ada yang ketinggalan !” ujar Nurul Fikriyah kepada
kami. Ia adalah orang yang paling terahir keluar dari bus diantara teman-teman
saya yang lain. Sepertinya ia sangat teliti dalam memastikan barang-barang
bawaan dari kami agar tidak ada yang tertinggal di dalam bus.
Sebelum
semuanya berpisah, kami berkumpul terlebih dahulu. Malam itu, kami berdiri di
pinggir jalan Ir. H. Juanda, membentuk sebuah
lingkaran. Rijal memimpin penutupan dan perpisahan itu dengan menyampaikan
beberapa pesan, harapan dan doa untuk kami semua. Kami mengangkat tangan kami
sembari meneriakkan yel-yel. Rijal mulai memberi komando: “jamaah…? “. Kami
menjawab: “ iyeeeh..” rijal meneruskan: “oooh jamaaaah…. Alhamdu??” kami menjawab: “lillaaah.” Rijal meneruskan lagi: “Semangat FDI !” kami serentak menyahut: “Yes
Yes Yes!”
……………………………sekian………………………………..